Selasa, 30 Juni 2009

Kejutaaaan.... !!

Setelah seharian aku dibuat gemas dengan koneksi inet yang terputus.., akhirnya aku bisa juga akses internet setelah waktu menunjukkan pukul 21.50 WIB. Di kantor akses ke blogspot dan blogger sudah diblokir (tanya kenapa...? hehehe kayak iklan aja ya....). Sampai di rumah pun ternyata inet bermasalah lagi, sehingga lagi-lagi aku tak bisa buka inet. Sayang sekali ketika akhirnya akses ke inet lancar lagi, waktu sudah sangat larut bagiku.

Untuk melakukan blogwalking pada selarut ini, aku sudah dipeluk oleh rasa kantuk. Akhirnya, kuputuskan untuk membuka email, sekedar untuk memeriksa apakah ada surat baru untukku. Walaupun sebenarnya rindu ingin mengetuk rumah sahabat satu persatu, akhirnya keingingan itu sementara kupendam dulu. Kupikir, blogwalking dan posting baru bisa kutunda esok hari saja.

Dan ternyata.... dari email yang masuk aku mendapatkan sebuah kejutan. Hayoooo..., siapa yang bisa menebak apa kejutan yang aku terima ? Sebenarnya sih lebih tepat kalau kejutan ini untuk Shasa, bukan untuk aku. Inilah bunyi email yang membuatku sangat terkejut dan nyaris tak percaya.

Kepada Yth.
Sdr/i Pengelola Blog shasaimutz.blogspot.com

Setelah melakukan proses verifikasi dan penilaian, bersama ini kami
menyampaikan bahwa blog yang Anda kelola layak dan berhak mendapatkan
penghargaan Internet Sehat Blog Award (ISBA) 2009 untuk kategori mingguan
"Student Blog" pada periode Selasa (30/06/2009).

Selamat untuk Anda!

Sebagai bentuk apresiasi, kami akan segera mengirimkan merchandise kepada
Anda berupa:

- 1 buah T-Shirt Internet Sehat "be www" (ukuran all-size)
- 1 buah Buku Internet Sehat

Sungguh mulanya aku tak percaya blog Shasa bisa mendapatkan penghargaan dari Internet Sehat. Sampai-sampai email itu aku baca berkali-kali. Alhamdulillah, ternyata aku tak salah baca. Ternyata mataku tak menipu terhadap apa yang aku baca.

Sebenarnya aku sudah mendaftarkan Shasa sejak bulan April 2009 yang lalu. Aku melakukannya diam-diam, tanpa sepengetahuan Shasa. Hanya Shasa sempat bertanya kepadaku kenapa di dalam blognya aku pasang banner Internet Sehat. Saat itu sih aku menjawab bahwa banner itu hanya untuk menambah manis blognya saja,. Terpaksa aku tak terus terang padanya karena aku tak ingin dia terlalu berharap untuk menang. Terutama, aku tak ingin dia kecewa apabila ternyata dia gagal.

Ketidaktahuan Shasa dalam Internet Sehat itu membuatnya tidak lebih terpacu untuk update blog secara rutin. Kesibukannya dalam urusan sekolah, membuat blognya jarang dikunjunginya. Seiring berjalannya waktu dan tak ada kabar lagi tentang Internet Sehat nyaris membuatku melupakan Internet Sehat ini. Makanya, waktu tadi di dalam emailku ada email dari Internet Sehat, aku nyaris tak percaya.

Untuk kemenangan Shasa ini, aku ucapkan terima kasih kepada Mas Willis Koes. Sebenarnya atas saran dan dorongan darinya aku berani mendaftarkan blog Shasa ikut Internet Sehat. Menurut Mas Willis, untuk ukuran anak-anak, blog Shasa cukup lumayan. Kata Mas Willis juga, blog Shasa bisa masuk dalam kategori Student Blog. Akhirnya, aku nekad mendaftarkan blog Shasa. Tapi aku sendiri tak berani mendaftarkan blog-ku sendiri karena menurutku blogku masih jauh dari kata menarik, apalagi bagus.

Sayang sekali malam ini Shasa sudah lelap terbuai mimpi. Tapi aku yakin, berita ini pasti akan membuatnya tersenyum bangga. Siapa tahu..., setelah mendapatkan penghargaan ini (yang mamanya sendiri pun tak mampu mendapatkannya !!), semangat Shasa untuk ngeblog semakin terpacu. Hmm, tapi aku gak yakin juga sih, karena mood Shasa sama seperti anak-anak lainnya, gampang berubah-ubah.

So.., buat sahabat semua, bila ingin juga mendaftarkan ikut Internet Sehat bisa membaca persyaratannya di sini. Oke... semoga berhasil ya.

Sstt... rencana semula untuk tidak posting malam-malam, karena sudah ngantuk, jadi berantakan. Ternyata aku dengan semangat 45 langsung posting tentang kejutan ini (^_^)

Kejutaaaan.... !!

Setelah seharian aku dibuat gemas dengan koneksi inet yang terputus.., akhirnya aku bisa juga akses internet setelah waktu menunjukkan pukul 21.50 WIB. Di kantor akses ke blogspot dan blogger sudah diblokir (tanya kenapa...? hehehe kayak iklan aja ya....). Sampai di rumah pun ternyata inet bermasalah lagi, sehingga lagi-lagi aku tak bisa buka inet. Sayang sekali ketika akhirnya akses ke inet lancar lagi, waktu sudah sangat larut bagiku.

Untuk melakukan blogwalking pada selarut ini, aku sudah dipeluk oleh rasa kantuk. Akhirnya, kuputuskan untuk membuka email, sekedar untuk memeriksa apakah ada surat baru untukku. Walaupun sebenarnya rindu ingin mengetuk rumah sahabat satu persatu, akhirnya keingingan itu sementara kupendam dulu. Kupikir, blogwalking dan posting baru bisa kutunda esok hari saja.

Dan ternyata.... dari email yang masuk aku mendapatkan sebuah kejutan. Hayoooo..., siapa yang bisa menebak apa kejutan yang aku terima ? Sebenarnya sih lebih tepat kalau kejutan ini untuk Shasa, bukan untuk aku. Inilah bunyi email yang membuatku sangat terkejut dan nyaris tak percaya.

Kepada Yth.
Sdr/i Pengelola Blog shasaimutz.blogspot.com

Setelah melakukan proses verifikasi dan penilaian, bersama ini kami
menyampaikan bahwa blog yang Anda kelola layak dan berhak mendapatkan
penghargaan Internet Sehat Blog Award (ISBA) 2009 untuk kategori mingguan
"Student Blog" pada periode Selasa (30/06/2009).

Selamat untuk Anda!

Sebagai bentuk apresiasi, kami akan segera mengirimkan merchandise kepada
Anda berupa:

- 1 buah T-Shirt Internet Sehat "be www" (ukuran all-size)
- 1 buah Buku Internet Sehat

Sungguh mulanya aku tak percaya blog Shasa bisa mendapatkan penghargaan dari Internet Sehat. Sampai-sampai email itu aku baca berkali-kali. Alhamdulillah, ternyata aku tak salah baca. Ternyata mataku tak menipu terhadap apa yang aku baca.

Sebenarnya aku sudah mendaftarkan Shasa sejak bulan April 2009 yang lalu. Aku melakukannya diam-diam, tanpa sepengetahuan Shasa. Hanya Shasa sempat bertanya kepadaku kenapa di dalam blognya aku pasang banner Internet Sehat. Saat itu sih aku menjawab bahwa banner itu hanya untuk menambah manis blognya saja,. Terpaksa aku tak terus terang padanya karena aku tak ingin dia terlalu berharap untuk menang. Terutama, aku tak ingin dia kecewa apabila ternyata dia gagal.

Ketidaktahuan Shasa dalam Internet Sehat itu membuatnya tidak lebih terpacu untuk update blog secara rutin. Kesibukannya dalam urusan sekolah, membuat blognya jarang dikunjunginya. Seiring berjalannya waktu dan tak ada kabar lagi tentang Internet Sehat nyaris membuatku melupakan Internet Sehat ini. Makanya, waktu tadi di dalam emailku ada email dari Internet Sehat, aku nyaris tak percaya.

Untuk kemenangan Shasa ini, aku ucapkan terima kasih kepada Mas Willis Koes. Sebenarnya atas saran dan dorongan darinya aku berani mendaftarkan blog Shasa ikut Internet Sehat. Menurut Mas Willis, untuk ukuran anak-anak, blog Shasa cukup lumayan. Kata Mas Willis juga, blog Shasa bisa masuk dalam kategori Student Blog. Akhirnya, aku nekad mendaftarkan blog Shasa. Tapi aku sendiri tak berani mendaftarkan blog-ku sendiri karena menurutku blogku masih jauh dari kata menarik, apalagi bagus.

Sayang sekali malam ini Shasa sudah lelap terbuai mimpi. Tapi aku yakin, berita ini pasti akan membuatnya tersenyum bangga. Siapa tahu..., setelah mendapatkan penghargaan ini (yang mamanya sendiri pun tak mampu mendapatkannya !!), semangat Shasa untuk ngeblog semakin terpacu. Hmm, tapi aku gak yakin juga sih, karena mood Shasa sama seperti anak-anak lainnya, gampang berubah-ubah.

So.., buat sahabat semua, bila ingin juga mendaftarkan ikut Internet Sehat bisa membaca persyaratannya di sini. Oke... semoga berhasil ya.

Sstt... rencana semula untuk tidak posting malam-malam, karena sudah ngantuk, jadi berantakan. Ternyata aku dengan semangat 45 langsung posting tentang kejutan ini (^_^)

Senin, 29 Juni 2009

Binatang kesayangan

Dua hari yang lalu Shasa-ku bercerita kalau dia mendapatkan pertanyaan yang ditinggalkan oleh Om Trimatra di blognya. Penasaran aku segera membuka Jejak Langkahku untuk melihat sendiri pertanyaan apa yang diberikan kepada Shasa. Ternyata, pertanyaan yang diajukan mas Trimatra seperti ini :
"andai semua binatang didunia ini boleh untuk dimiliki dan dipelihara, kamu mau pelihara apa? Alasannya??"
Sesaat kemudian Shasa bercerita kepadaku bahwa pertanyaan dari Om Trimatra itu telah dijawabnya. Katanya, jawabnya ada 6 dan aku diminta menebaknya. Namun dari keenam jawabannya yang berhasil kutebak dengan benar hanya 3 saja hehehe... (berarti nilai mama cuma 5 dong Sha? Kan salahnya separuh sendiri hehehe...)

Namun aku belum sempat membuka lagi Jejak Langkahku untuk melihat sendiri apa yang ditulis Shasa untuk menjawab pertanyaan itu. Makanya aku kaget banget sewaktu hari Minggu pagi aku menemukan foto Shasa dan jawaban Shasa ada di dalam postingan blognya Mas Trimatra yang berjudul What they said about pets ?.

Oh My God..., ternyata Mas Tri sedang mengadakan "polling" tentang binatang-binatang yang ingin dipelihara seseorang. Dan salah satu yang diminta mengisi polling itu adalah Shasa. Sayang sekali hasil polling itu tidak ditampilkan semua oleh Mas Trimatra, namun hanya diwakili oleh 4 responden dengan kategori : jawaban tersingkat, jawaban terpanjang, jawaban paling asal dan jawaban paling serius. Ternyata.... jawaban Shasa mewakili jawaban paling serius !! Hehehe........ Secara, Shasa semangat banget menjawab semua komentar-komentar yang masuk ke dalam blognya.........

Setelah membaca jawaban Shasa, aku baru tahu kalau ternyata Shasa ingin sekali bisa memelihara kupu-kupu dan kunang-kunang. Tak pernah terpikirkan olehku bahwa kedua jenis binatang itu masuk dalam kategori binatang yang ingin dipelihara Shasa. Selama ini Shasa sudah pernah memelihara berbagai jenis binatang, seperti Kelinci, Hamster, Burung Kura-kura dan Ikan hias.

Pertama kali yang dipelihara Shasa adalah burung yaitu jenis lovebird. Namun saat akhirnya burung itu mati, Shasa nangis lama sekali. Aku sampai kehabisan cara untuk menghiburnya. Setelah sekian lama waktu berlalu.., Shasa minta untuk memelihara Hamster. Kejadian yang sama terulang lagi saat hamster peliharaannya mati. Yang paling ,menyedihkan bagi Shasa adalah saat kelincinya mati. Selama berhari-hari Shasa masih merasa sedih karenanya.

Itulah sebabnya aku sempat merasa keberatan waktu Shasa minta memelihara binatang lagi. Takut melihatnya sedih tatkala binatang yang dipelihara dan disayanginya mati. Tapi lama-lama kupikir biarlah Shasa mempunyai tanggung jawab dengan memelihara binatang-binatang itu. Dan Shasa biar juga mengalami perasaan "kehilangan" itu supaya dia mempunyai pengalaman dan pengetahuan bahwa suatu saat kita bisa kehilangan sesuatu yang sangat kita sayangi. Selain itu agar Shasa juga belajar menyayangi sesama makhluk ciptaan Tuhan dan supaya dia juga tahu bahwa semua yang bernyawa pasti akan mati.

Sebenarnya aku pribadi kurang suka memelihara binatang. Berkebalikan dengan mas Judhanto, suamiku. Sejak kecil dia suka memelihara binatang. Bahkan waktu kuliah dulu dia pernah memelihara ayam cukup lama bahkan bisa menghasilkan. Selain ayam, suamiku juga pecinta burung dan ikan. Sepertinya kesenangan Shasa akan binatang menurun dari ayahnya.

Dan..., sore tadi suamiku bilang bahwa ikan cupang peliharaan Shasa mati. Walaaah.... Untungnya Shasa libur 2 hari ini bermalam di rumah eyangnya, jadi dia belum tahu kalau ikannya mati (lagi). Enaknya kapan ya aku memberitahu Shasa tentang kematian ikannya ini...? Aku belum siap melihat Shasa akan bersedih lagi.... Hikss....

Binatang kesayangan

Dua hari yang lalu Shasa-ku bercerita kalau dia mendapatkan pertanyaan yang ditinggalkan oleh Om Trimatra di blognya. Penasaran aku segera membuka Jejak Langkahku untuk melihat sendiri pertanyaan apa yang diberikan kepada Shasa. Ternyata, pertanyaan yang diajukan mas Trimatra seperti ini :
"andai semua binatang didunia ini boleh untuk dimiliki dan dipelihara, kamu mau pelihara apa? Alasannya??"
Sesaat kemudian Shasa bercerita kepadaku bahwa pertanyaan dari Om Trimatra itu telah dijawabnya. Katanya, jawabnya ada 6 dan aku diminta menebaknya. Namun dari keenam jawabannya yang berhasil kutebak dengan benar hanya 3 saja hehehe... (berarti nilai mama cuma 5 dong Sha? Kan salahnya separuh sendiri hehehe...)

Namun aku belum sempat membuka lagi Jejak Langkahku untuk melihat sendiri apa yang ditulis Shasa untuk menjawab pertanyaan itu. Makanya aku kaget banget sewaktu hari Minggu pagi aku menemukan foto Shasa dan jawaban Shasa ada di dalam postingan blognya Mas Trimatra yang berjudul What they said about pets ?.

Oh My God..., ternyata Mas Tri sedang mengadakan "polling" tentang binatang-binatang yang ingin dipelihara seseorang. Dan salah satu yang diminta mengisi polling itu adalah Shasa. Sayang sekali hasil polling itu tidak ditampilkan semua oleh Mas Trimatra, namun hanya diwakili oleh 4 responden dengan kategori : jawaban tersingkat, jawaban terpanjang, jawaban paling asal dan jawaban paling serius. Ternyata.... jawaban Shasa mewakili jawaban paling serius !! Hehehe........ Secara, Shasa semangat banget menjawab semua komentar-komentar yang masuk ke dalam blognya.........

Setelah membaca jawaban Shasa, aku baru tahu kalau ternyata Shasa ingin sekali bisa memelihara kupu-kupu dan kunang-kunang. Tak pernah terpikirkan olehku bahwa kedua jenis binatang itu masuk dalam kategori binatang yang ingin dipelihara Shasa. Selama ini Shasa sudah pernah memelihara berbagai jenis binatang, seperti Kelinci, Hamster, Burung Kura-kura dan Ikan hias.

Pertama kali yang dipelihara Shasa adalah burung yaitu jenis lovebird. Namun saat akhirnya burung itu mati, Shasa nangis lama sekali. Aku sampai kehabisan cara untuk menghiburnya. Setelah sekian lama waktu berlalu.., Shasa minta untuk memelihara Hamster. Kejadian yang sama terulang lagi saat hamster peliharaannya mati. Yang paling ,menyedihkan bagi Shasa adalah saat kelincinya mati. Selama berhari-hari Shasa masih merasa sedih karenanya.

Itulah sebabnya aku sempat merasa keberatan waktu Shasa minta memelihara binatang lagi. Takut melihatnya sedih tatkala binatang yang dipelihara dan disayanginya mati. Tapi lama-lama kupikir biarlah Shasa mempunyai tanggung jawab dengan memelihara binatang-binatang itu. Dan Shasa biar juga mengalami perasaan "kehilangan" itu supaya dia mempunyai pengalaman dan pengetahuan bahwa suatu saat kita bisa kehilangan sesuatu yang sangat kita sayangi. Selain itu agar Shasa juga belajar menyayangi sesama makhluk ciptaan Tuhan dan supaya dia juga tahu bahwa semua yang bernyawa pasti akan mati.

Sebenarnya aku pribadi kurang suka memelihara binatang. Berkebalikan dengan mas Judhanto, suamiku. Sejak kecil dia suka memelihara binatang. Bahkan waktu kuliah dulu dia pernah memelihara ayam cukup lama bahkan bisa menghasilkan. Selain ayam, suamiku juga pecinta burung dan ikan. Sepertinya kesenangan Shasa akan binatang menurun dari ayahnya.

Dan..., sore tadi suamiku bilang bahwa ikan cupang peliharaan Shasa mati. Walaaah.... Untungnya Shasa libur 2 hari ini bermalam di rumah eyangnya, jadi dia belum tahu kalau ikannya mati (lagi). Enaknya kapan ya aku memberitahu Shasa tentang kematian ikannya ini...? Aku belum siap melihat Shasa akan bersedih lagi.... Hikss....

Minggu, 28 Juni 2009

Tumbuh di tengah badai

Buku yang berjudul Tumbuh di Tengah Badai ini ditulis oleh Herniwatty Moechiam. Buku yang sangat luar biasa ini adalah sebuah kisah nyata, yang bercerita tentang perjuangan seorang ibu rumah tangga dalam membesarkan anak autis . Pada saat itu, autisme belum dikenal luas seperti sekarang ini. Bahkan kepastian bahwa anaknya menderita penyakit autis ini baru diketahui setelah si anak kelas 3 SD.

Kehadiran anak ketiga yang "berbeda" dari anak-anak sebelumnya membuat kedua orang tuanya shock. Ketidaksiapan menerima anak yang tidak normal membuat kehidupan rumah tangga mereka semakin terpuruk dari tahun ke tahun. Pertengkaran, adu mulut, dan teriakan-teriakan yang terus menerus terjadi membuat rumah menjadi sangat tidak menyenangkan. Anak-anak tumbuh dalam suasana yang tertekan dan membuat emosi mereka terganggu.

Perhatian ibu yang lebih kepada si bungsu membuat kedua kakaknya cemburu dan melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian. Suasana rumah yang gaduh membuat sang ayah menjadi sangat mudah terpancing emosinya. Tidak ada suasana yang kondusif untuk membesarkan anak-anak dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Kondisi bukan bertambah baik, tapi dari hari ke hari semakin terpuruk.

Akhirnya, setelah sekian lama terjebak dalam badai rumah tangga, sang ibu bisa bangkit untuk "menyelamatkan" anak-anaknya dari keterpurukan yang kian dalam. Dengan terpanting-panting sang ibu mengambil alih semua peran sang ayah dalam mengurusi semua anak-anaknya. Mulai dari urusan antar jemput anak, memilihkan sekolah dan tempat-tempat kursus untuk memberikan kesibukan anak-anaknya, bahkan sampai memilihkan tempat terapi dan konsultasi psikologis untuk semua anaknya telah dilakukannya sendiri.

Untungnya sang ayah memiliki penghasilan yang cukup untuk semua itu. Meskipun sang ayah sama sekali tidak peduli atas perkembangan anak-anaknya, tapi semua yang mereka butuhkan dicukupinya, namun tak luput dari segala macam persyaratan dan kecaman tak berkesudahan dari sang ayah. Walaupun harus jatuh bangun, sang ibu mampu seorang diri mengurus anak-anaknya, meskipun tak sedikit pandangan sinis, curiga dan melecehkan yang diterimanya, bukan saja dari suami, tapi juga dari lingkungan yang saat itu belum tahu kerepotan mengurus seorang anak yang autis.

Segala macam kesulitan yang dihadapi ternyata belum cukup, karena badai yang lebih hebat masih harus mereka lewati. Namun, akhirnya dengan ketabahan dan rasa cinta yang dalam kepada anak-anaknya, membuat sang ibu mampu sedikit demi sedikit menyemai harapan. Kondisi rumah tangga yang nyaris tak mampu dipertahankan akhirnya dapat juga berubah ke arah yang lebih baik. Anak-anaknya pun mampu menunjukkan prestasi yang tak disangka-sangka bahkan akhirnya bisa menunjukkan bahwa mereka saling mencintai dan saling dukung satu sama lain.

Setelah perjalanan panjang, sang ibu semakin menyadari bahwa dia "beruntung" diberi kesempatan oleh Allah menerima titipan yang "istimewa" berupa seorang anak autis. Melalui anaknya yang autis itulah, sang ibu menyadari bahwa dirinya mampu berkembang menjadi lebih baik. Bahkan, disadarinya kemudian bahwa kehadiran anak yang autis dalam keluarganya telah menumbuhkan kesadaran, keimanan, kesabaran, pengertian, kesetiaan, kasih sayang, kematangan dan masih banyak lagi.

Poin yang perlu dicatat dari buku ini adalah :
  • Berprasangka baik kepada Allah adalah kunci untuk tetap semangat dalam menjalani kehidupan seberat apapun.
  • Cinta seorang ibu kepada anak-anaknya sangat tulus, bahkan sang ibu seringkali mau berkorban apa saja demi kebahagiaan sang anak.
  • Saat kehidupan sedemikian buruknya, harapan tak sepenuhnya hilang, namun hanya tertutup oleh pandangan dan pikiran negatif.
Penulis : Herniwatty Moechiam
Kategori : Kisah Nyata
Penerbit : Bentang
Th. Terbit : 2009 (cetakan I)
Tebal : 236 halaman
Cover : Soft Cover
Harga : Rp. 33.300,- (diskon)

Tumbuh di tengah badai

Buku yang berjudul Tumbuh di Tengah Badai ini ditulis oleh Herniwatty Moechiam. Buku yang sangat luar biasa ini adalah sebuah kisah nyata, yang bercerita tentang perjuangan seorang ibu rumah tangga dalam membesarkan anak autis . Pada saat itu, autisme belum dikenal luas seperti sekarang ini. Bahkan kepastian bahwa anaknya menderita penyakit autis ini baru diketahui setelah si anak kelas 3 SD.

Kehadiran anak ketiga yang "berbeda" dari anak-anak sebelumnya membuat kedua orang tuanya shock. Ketidaksiapan menerima anak yang tidak normal membuat kehidupan rumah tangga mereka semakin terpuruk dari tahun ke tahun. Pertengkaran, adu mulut, dan teriakan-teriakan yang terus menerus terjadi membuat rumah menjadi sangat tidak menyenangkan. Anak-anak tumbuh dalam suasana yang tertekan dan membuat emosi mereka terganggu.

Perhatian ibu yang lebih kepada si bungsu membuat kedua kakaknya cemburu dan melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian. Suasana rumah yang gaduh membuat sang ayah menjadi sangat mudah terpancing emosinya. Tidak ada suasana yang kondusif untuk membesarkan anak-anak dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Kondisi bukan bertambah baik, tapi dari hari ke hari semakin terpuruk.

Akhirnya, setelah sekian lama terjebak dalam badai rumah tangga, sang ibu bisa bangkit untuk "menyelamatkan" anak-anaknya dari keterpurukan yang kian dalam. Dengan terpanting-panting sang ibu mengambil alih semua peran sang ayah dalam mengurusi semua anak-anaknya. Mulai dari urusan antar jemput anak, memilihkan sekolah dan tempat-tempat kursus untuk memberikan kesibukan anak-anaknya, bahkan sampai memilihkan tempat terapi dan konsultasi psikologis untuk semua anaknya telah dilakukannya sendiri.

Untungnya sang ayah memiliki penghasilan yang cukup untuk semua itu. Meskipun sang ayah sama sekali tidak peduli atas perkembangan anak-anaknya, tapi semua yang mereka butuhkan dicukupinya, namun tak luput dari segala macam persyaratan dan kecaman tak berkesudahan dari sang ayah. Walaupun harus jatuh bangun, sang ibu mampu seorang diri mengurus anak-anaknya, meskipun tak sedikit pandangan sinis, curiga dan melecehkan yang diterimanya, bukan saja dari suami, tapi juga dari lingkungan yang saat itu belum tahu kerepotan mengurus seorang anak yang autis.

Segala macam kesulitan yang dihadapi ternyata belum cukup, karena badai yang lebih hebat masih harus mereka lewati. Namun, akhirnya dengan ketabahan dan rasa cinta yang dalam kepada anak-anaknya, membuat sang ibu mampu sedikit demi sedikit menyemai harapan. Kondisi rumah tangga yang nyaris tak mampu dipertahankan akhirnya dapat juga berubah ke arah yang lebih baik. Anak-anaknya pun mampu menunjukkan prestasi yang tak disangka-sangka bahkan akhirnya bisa menunjukkan bahwa mereka saling mencintai dan saling dukung satu sama lain.

Setelah perjalanan panjang, sang ibu semakin menyadari bahwa dia "beruntung" diberi kesempatan oleh Allah menerima titipan yang "istimewa" berupa seorang anak autis. Melalui anaknya yang autis itulah, sang ibu menyadari bahwa dirinya mampu berkembang menjadi lebih baik. Bahkan, disadarinya kemudian bahwa kehadiran anak yang autis dalam keluarganya telah menumbuhkan kesadaran, keimanan, kesabaran, pengertian, kesetiaan, kasih sayang, kematangan dan masih banyak lagi.

Poin yang perlu dicatat dari buku ini adalah :
  • Berprasangka baik kepada Allah adalah kunci untuk tetap semangat dalam menjalani kehidupan seberat apapun.
  • Cinta seorang ibu kepada anak-anaknya sangat tulus, bahkan sang ibu seringkali mau berkorban apa saja demi kebahagiaan sang anak.
  • Saat kehidupan sedemikian buruknya, harapan tak sepenuhnya hilang, namun hanya tertutup oleh pandangan dan pikiran negatif.
Penulis : Herniwatty Moechiam
Kategori : Kisah Nyata
Penerbit : Bentang
Th. Terbit : 2009 (cetakan I)
Tebal : 236 halaman
Cover : Soft Cover
Harga : Rp. 33.300,- (diskon)

Sabtu, 27 Juni 2009

Tuhan telah memutuskan

Setelah membaca komentar yang masuk dalam postingan ini, aku merasa perlu menambahkan sedikit informasi tentang buku ini. Penulisnya, Dr. Free Hearty, M.Hum, menulis novel ini berdasarkan keluhan yang ada dalam masyarakat. Buku yang ditulis dalam jangka waktu 6 bulan ini sebelumnya telah melalui penelitian yang lama. Jadi, meskipun buku ini termasuk kategori novel, namun kisah yang diangkat berdasarkan kenyataan yang ada dalam masyarakat kita.

Buku ini bercerita tentang kehidupan seorang Ibu Rumah Tangga yang bernama Fetty. Dia yang dinikahkan setelah lulus SMA dengan pria pilihan orang tuanya mengalami banyak ujian sepanjang perjalanan kehidupan rumah tangganya. Terjal, berliku dan seringkali harus tersayat-sayat duri yang pedih. Gambaran kehidupan rumah tangga, yang mungkin telah dialami sekian banyak wanita Indonesia, yang memaksa mempertahankan rumah tangga yang sebenarnya sudah tidak dapat dipertahankan lagi.

Fetty adalah seorang istri yang tunduk dan patuh kepada suami sebagaimana ajaran yang telah didapatkannya dari nenek, ibu dan mertuanya. Fettty yang menikah tanpa dilandasi cinta, menjalankan kehidupan rumah tangganya berdasarkan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah kewajiban seorang istri. Harapannya, dengan melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya maka akan diperoleh surga sebagai imbalannya.

Apapun kehendak sang suami tak hendak dilawan olehnya. Apapun perintah suami dilaksanakannya, meskipun seringkali dengan terseok-seok. Perannya dalam rumah tangga di mata suami tak ubahnya seperti pembantu rumah tangga. Bahkan saat sang suami melarangnya melanjutkan kuliah dan melarang keluar rumah tanpa seijinnya, semua dipatuhi tanpa banyak protes. Mengenai aktivitas suami di luar rumah pun tak satupun yang dipertanyakannya.

Meskipun berusaha keras menjalankan semua ajaran dari nenek, ibu dan mertuanya, sebenarnya di dalam pikiran Fetty seringkali muncul tanya yang tidak terjawab. Kehidupan rumah tangga yang timpang karena suami hanya sibuk di luar rumah dan tidak peduli sama sekali masalah rumah tangga membuat hati Fetty ingin berontak. Dalam hatinya, Fetty mempertanyakan apakah suami peduli dengan pengorbanan seorang istri dalam mengurus rumah tangga dan mempersiapkan generasi penerus bangsa. Apakah setelah kewajiban yang sedemikian besarnya dipikul seorang istri tidak ada hak yang pantas diterima sebagai imbalannya.

Kebuntuan komunikasi, sikap dingin dari sang suami dan sikap penurutnya (yang dimata suami dianggap sebagai cerminan orang bodoh) membuat kehidupan rumah tangganya tak berjalan bahagia. Ketabahan dan kesetiannya sebagai istri yang senantiasa mengabdi kepada suami tak mendapatkan balasan kasih sayang. Suaminya tak pernah menghargainya dan bahkan kemudian terbukti mengkhianatinya. Meskipun kebenaran telah terbuka di depan mata, tak ada keberanian dalam hatinya untuk bertindak di luar ajaran yang pernah didapatkannya dahulu dari nenek, ibu dan mertuanya.

Kehidupan rumah tangga yang diharapkan dapat berjalan langgeng mulai tampak goyah. Pada saat itulah muncul 2 orang sahabat yang menguatkannya dan memberikan jalan keluar dari semua permasalahannya. Berkat kedua sahabatnya itulah, Fetty kemudian banyak belajar dan selanjutnya mampu ber-metamorfosis dari seorang wanita yang dihinakan menjadi seorang wanita yang mampu memperjuangkan haknya. Fetty kemudian mampu mengangkat harkat dan martabatnya serta menyelamatkan kehidupan dan masa depan keempat anak-anaknya.

Setelah jatuh bangun menjalani kehidupannya, akhirnya dengan ketabahan yang dimilikinya Fetty dapat hidup bahagia. Dia dapat merasakan cinta yang telah lama didambakannya. Cinta yang menjadikan dirinya merasa bermartabat dan dihargai. Pergaulannya dengan seorang wanita penyuka sesama jenis, mampu membukakan wawasan berpikirnya tentang nilai seseorang yang sebenarnya. Dan semua perjalanan hidupnya yang penuh liku telah menjadikannya seorang wanita yang bijaksana.

Poin yang perlu dicatat dari buku ini adalah :
  • Komunikasi dan keterbukaan dalam sebuah rumah tangga sangat diperlukan agar rumah tangga bisa berjalan harmonis.
  • Cinta dalam sebuah rumah tangga harus terus menerus dipupuk dan dipelihara.
  • Untuk menjadikan biduk rumah tangga bisa berjalan baik, diperlukan 2 orang yang terlibat di dalamnya. Tapi untuk membuat biduk itu karam, hanya diperlukan 1 orang saja.
  • Segala kesulitan pasti ada jalan keluarnya, tinggal bagaimana usaha kita dan kita pasrahkan hasilnya pada Sang Kuasa.

Penulis : Free Hearty
Kategori : Novel
Penerbit : Jendela
Th. Terbit : 2009 (cetakan I)
Tebal : 270 halaman
Cover : Soft Cover
Harga : Rp. 37.000,- (diskon)

Tuhan telah memutuskan

Setelah membaca komentar yang masuk dalam postingan ini, aku merasa perlu menambahkan sedikit informasi tentang buku ini. Penulisnya, Dr. Free Hearty, M.Hum, menulis novel ini berdasarkan keluhan yang ada dalam masyarakat. Buku yang ditulis dalam jangka waktu 6 bulan ini sebelumnya telah melalui penelitian yang lama. Jadi, meskipun buku ini termasuk kategori novel, namun kisah yang diangkat berdasarkan kenyataan yang ada dalam masyarakat kita.

Buku ini bercerita tentang kehidupan seorang Ibu Rumah Tangga yang bernama Fetty. Dia yang dinikahkan setelah lulus SMA dengan pria pilihan orang tuanya mengalami banyak ujian sepanjang perjalanan kehidupan rumah tangganya. Terjal, berliku dan seringkali harus tersayat-sayat duri yang pedih. Gambaran kehidupan rumah tangga, yang mungkin telah dialami sekian banyak wanita Indonesia, yang memaksa mempertahankan rumah tangga yang sebenarnya sudah tidak dapat dipertahankan lagi.

Fetty adalah seorang istri yang tunduk dan patuh kepada suami sebagaimana ajaran yang telah didapatkannya dari nenek, ibu dan mertuanya. Fettty yang menikah tanpa dilandasi cinta, menjalankan kehidupan rumah tangganya berdasarkan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah kewajiban seorang istri. Harapannya, dengan melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya maka akan diperoleh surga sebagai imbalannya.

Apapun kehendak sang suami tak hendak dilawan olehnya. Apapun perintah suami dilaksanakannya, meskipun seringkali dengan terseok-seok. Perannya dalam rumah tangga di mata suami tak ubahnya seperti pembantu rumah tangga. Bahkan saat sang suami melarangnya melanjutkan kuliah dan melarang keluar rumah tanpa seijinnya, semua dipatuhi tanpa banyak protes. Mengenai aktivitas suami di luar rumah pun tak satupun yang dipertanyakannya.

Meskipun berusaha keras menjalankan semua ajaran dari nenek, ibu dan mertuanya, sebenarnya di dalam pikiran Fetty seringkali muncul tanya yang tidak terjawab. Kehidupan rumah tangga yang timpang karena suami hanya sibuk di luar rumah dan tidak peduli sama sekali masalah rumah tangga membuat hati Fetty ingin berontak. Dalam hatinya, Fetty mempertanyakan apakah suami peduli dengan pengorbanan seorang istri dalam mengurus rumah tangga dan mempersiapkan generasi penerus bangsa. Apakah setelah kewajiban yang sedemikian besarnya dipikul seorang istri tidak ada hak yang pantas diterima sebagai imbalannya.

Kebuntuan komunikasi, sikap dingin dari sang suami dan sikap penurutnya (yang dimata suami dianggap sebagai cerminan orang bodoh) membuat kehidupan rumah tangganya tak berjalan bahagia. Ketabahan dan kesetiannya sebagai istri yang senantiasa mengabdi kepada suami tak mendapatkan balasan kasih sayang. Suaminya tak pernah menghargainya dan bahkan kemudian terbukti mengkhianatinya. Meskipun kebenaran telah terbuka di depan mata, tak ada keberanian dalam hatinya untuk bertindak di luar ajaran yang pernah didapatkannya dahulu dari nenek, ibu dan mertuanya.

Kehidupan rumah tangga yang diharapkan dapat berjalan langgeng mulai tampak goyah. Pada saat itulah muncul 2 orang sahabat yang menguatkannya dan memberikan jalan keluar dari semua permasalahannya. Berkat kedua sahabatnya itulah, Fetty kemudian banyak belajar dan selanjutnya mampu ber-metamorfosis dari seorang wanita yang dihinakan menjadi seorang wanita yang mampu memperjuangkan haknya. Fetty kemudian mampu mengangkat harkat dan martabatnya serta menyelamatkan kehidupan dan masa depan keempat anak-anaknya.

Setelah jatuh bangun menjalani kehidupannya, akhirnya dengan ketabahan yang dimilikinya Fetty dapat hidup bahagia. Dia dapat merasakan cinta yang telah lama didambakannya. Cinta yang menjadikan dirinya merasa bermartabat dan dihargai. Pergaulannya dengan seorang wanita penyuka sesama jenis, mampu membukakan wawasan berpikirnya tentang nilai seseorang yang sebenarnya. Dan semua perjalanan hidupnya yang penuh liku telah menjadikannya seorang wanita yang bijaksana.

Poin yang perlu dicatat dari buku ini adalah :
  • Komunikasi dan keterbukaan dalam sebuah rumah tangga sangat diperlukan agar rumah tangga bisa berjalan harmonis.
  • Cinta dalam sebuah rumah tangga harus terus menerus dipupuk dan dipelihara.
  • Untuk menjadikan biduk rumah tangga bisa berjalan baik, diperlukan 2 orang yang terlibat di dalamnya. Tapi untuk membuat biduk itu karam, hanya diperlukan 1 orang saja.
  • Segala kesulitan pasti ada jalan keluarnya, tinggal bagaimana usaha kita dan kita pasrahkan hasilnya pada Sang Kuasa.

Penulis : Free Hearty
Kategori : Novel
Penerbit : Jendela
Th. Terbit : 2009 (cetakan I)
Tebal : 270 halaman
Cover : Soft Cover
Harga : Rp. 37.000,- (diskon)

Jumat, 26 Juni 2009

Cerita yang tersisa

Selama 2 hari (Rabu dan Kamis) aku dinas untuk melakukan rapat koordinasi ke Kediri. Dalam waktu dimana aku tidak bersentuhan dengan blog itu aku memiliki cerita yang tersisa. Cerita yang perlu aku catatkan disini, sekedar cara agar aku tidak melupakannya begitu saja. Agar suatu saat aku bisa mengingatnya kembali apabila kenangan tentang cerita yang tersisa ini semakin terkikis dari ingatan.

Dua hari aku bertemu dan berkumpul dengan banyak orang dari berbagai daerah yang ada di Jawa Timur. Kami berkumpul untuk melakukan rapat koordinasi seputar kebijakan yang menyangkut kepegawaian. Berkumpul untuk menyatukan persepsi dan membahas permasalahan-permasalahan yang timbul beserta solusinya.

Dalam kurun waktu itu, selama aku bertemu dan bergaul dengan banyak orang, semakin banyak hal yang aku dapatkan. Dengan bertukar pikiran dengan mereka, banyak ilmu yang aku peroleh. Semua itu membuatku semakin sadar bahwa ilmu dan pengetahuan yang aku miliki belumlah seberapa. Masih banyak hal yang dapat aku pelajari dari orang-orang di sekelilingku. Jadi, tidak selayaknya aku berbangga hati dan menyombongkan diri bahwa ilmu dan pengetahuan yang aku miliki sudah sempurna.

Pergaulan memang memberikan banyak hal untuk dipelajari. Dengan semakin membuka diri dan bergaul dengan banyak orang, makin banyak orang yang akan kita temui dan kita jadikan narasumber kehidupan. Tinggal bagaimana kita mampu mengambil pelajaran dari pergaulan itu, bagaimana kita bisa memilah hal-hal apa saja yang dapat kita pergunakan untuk mengembangkan diri kita menjadi lebih baik.

Pengalaman hidup tiap orang berbeda, dan kita akan sangat beruntung apabila kita dapat ikut memetik pelajaran dari pengalaman orang lain. Bagaimanapun juga pengalaman adalah guru yang terbaik. Bukan saja pengalaman pribadi yang berguna, tapi pengalaman hidup orang lain pun tak kalah bergunanya. Sesuatu yang apabila kita menyadarinya, kita akan bisa selalu menghargai orang lain karena tiap orang memiliki ilmu dan pengalaman yang berharga untuk kita pelajari.

Itulah cerita pertama yang tak ingin aku lupakan, hasil dari pergaulanku dengan banyak teman se-Jawa Timur kemarin. Selain itu, ada cerita kedua yang tak ingin aku lupakan, yang kebetulan terjadi pada saat aku dalam perjalanan pulang dari Kediri ke Madiun.

Dalam perjalanan ke Madiun itulah, di dalam mobil aku menerima SMS dari seorang saudara jauhku. Dalam SMS-nya dia mengabarkan bahwa Shasa berhasil menduduki ranking 1 di kelasnya saat kenaikan kelas ini. Ya, Kamis tanggal 25 Juni 2009 kemarin adalah perpisahan untuk anak-anak kelas 6 dan pengumuman juara kelas murid-murid kelas 1 - 6. Kebetulan, saudara jauhku yang merupakan anggota paguyuban kelas diundang untuk menghadiri acara perpisahan itu. Waktu nama Shasa dipanggil maju ke atas panggung untuk menerima hadiah, dia langsung mengirimkan SMS buatku.

Alhamdulillah..., aku merasa lega karena Shasa telah berhasil dalam perjuangannya. Memang sejak Shasa kelas 3 ini, aku tidak terlalu terlibat dalam urusan belajarnya. Dulu sewaktu Shasa kelas 1 sampai kelas 2, aku sangat terlibat dalam kegiatan belajarnya. Aku bahkan mengetikkan soal-soal untuk dikerjakannya saat dia mau ulangan. Aku juga aktif dalam memberikan tebakan soal secara lisan untuknya. Hanya saja, "kejelekanku" adalah aku menginginkan Shasa bisa menjawab semua pertanyaanku (baik lisan maupun tertulis) dengan betul. Kalau sampai masih ada yang salah, aku cenderung mendorong dia untuk mempelajarinya lagi.

Sebenarnya aku tidak pernah menuntut Shasa untuk menjadi ranking 1 seperti sekarang. Selama ini Shasa juga sudah tahu bahwa aku hanya memintanya melakukan yang terbaik yang dia bisa. Bagiku, masuk 5 besar saja sudah bagus. Kalaupun aku sering memintanya untuk mampu menjawab semua pertanyaanku dengan betul, itu adalah keinginanku agar Shasa memiliki persiapan yang cukup. Sehingga sewaktu kelas 1 dan kelas 2, aku sudah bersyukur ketika Shasa mendapatkan ranking berfluktuasi dari posisi 3 sampai posisi 5.

Lama kelamaan aku menyadari bahwa caraku mempersiapkan Shasa menghadapi ujian sekolahnya tidak tepat. Aku merasa bahwa Shasa cukup stres dengan caraku seperti itu, karena terus terang saja, aku memperlakukan Shasa seperti aku memperlakukan diriku sendiri saat menghadapi ulangan sekolah bertahun-tahun yang lalu. Makanya, begitu Shasa naik kelas 3 aku mulai merubah caraku.

Aku melihat Shasa sudah mempunyai kesadaran sendiri untuk belajar. Tanpa perlu disuruh Shasa akan belajar dan mengerjakan PRnya sendiri. Hanya di saat menemui kesulitan, Shasa akan meminta tolong. Sehingga, saat menghadapi ulangan aku pun mulai melepasnya. Kuberikan tanggung jawab itu sepenuhnya pada Shasa, aku hanya mengawasi dan menemani. Dia kuijinkan belajar dan berhenti belajar sekehendak hatinya. Ternyata.., aku melihat Shasa cukup bertanggung jawab.

Hasilnya dari perubahan yang aku lakukan itu adalah, pada semester ganjil kemarin Shasa berhasil menduduki ranking 2 di kelasnya. Dan pada saat kenaikan kelas ini prestasi Shasa malah naik, ranking 1. Alhamdulillah..., sesuatu yang sebenarnya di luar dugaanku. Ternyata Shasa bisa membuktikan bahwa dia mampu melakukannya sendiri, dan aku hanya perlu mengawasi dan menemani.

Namun, satu hal yang aku syukuri adalah kelas Shasa adalah kelas yang dinamis. Selalu ada perubahan yang tak terduga di sana. Kalau aku amati, sejak kelas 1 sampai kelas 3 ini, anak-anak yang duduk di ranking 10 besar selalu berputar. Tak pernah statis. Itu menunjukkan bahwa tingkat kompetisi di kelas Shasa termasuk ketat juga.

Oleh karena itu aku mempersiapkan dan menasehati Shasa untuk menghadapi segala kemungkinan dengan lapang dada. Kalau saat ini ada di atas, jangan putus asa kalau lain kali ada di bawah. Karena semua berjuang dan berusaha dengan jujur untuk mendapatkan yang terbaik. Maka, siapa yang paling matang persiapannya pasti akan bisa mencapai puncak. Sementara yang sedang di bawah bukan berarti tidak pandai, namun persiapan dan usaha yang dilakukannya mungkin tidak sekeras yang bisa sampai di puncak.

Untuk saat ini Shasa mengerti apa yang aku nasehatkan padanya. Semoga saja dia tidak akan melupakan nasehatku itu dan tetap mampu berjuang dengan sportif meraih apa yang diimpilkannya. Amin.

Itu saja cerita yang tersisa yang kurasa perlu untuk kucatat di sini. Semoga selain bermanfaat bagiku, dapat bermanfaat juga bagi orang lain. Semoga...

Cerita yang tersisa

Selama 2 hari (Rabu dan Kamis) aku dinas untuk melakukan rapat koordinasi ke Kediri. Dalam waktu dimana aku tidak bersentuhan dengan blog itu aku memiliki cerita yang tersisa. Cerita yang perlu aku catatkan disini, sekedar cara agar aku tidak melupakannya begitu saja. Agar suatu saat aku bisa mengingatnya kembali apabila kenangan tentang cerita yang tersisa ini semakin terkikis dari ingatan.

Dua hari aku bertemu dan berkumpul dengan banyak orang dari berbagai daerah yang ada di Jawa Timur. Kami berkumpul untuk melakukan rapat koordinasi seputar kebijakan yang menyangkut kepegawaian. Berkumpul untuk menyatukan persepsi dan membahas permasalahan-permasalahan yang timbul beserta solusinya.

Dalam kurun waktu itu, selama aku bertemu dan bergaul dengan banyak orang, semakin banyak hal yang aku dapatkan. Dengan bertukar pikiran dengan mereka, banyak ilmu yang aku peroleh. Semua itu membuatku semakin sadar bahwa ilmu dan pengetahuan yang aku miliki belumlah seberapa. Masih banyak hal yang dapat aku pelajari dari orang-orang di sekelilingku. Jadi, tidak selayaknya aku berbangga hati dan menyombongkan diri bahwa ilmu dan pengetahuan yang aku miliki sudah sempurna.

Pergaulan memang memberikan banyak hal untuk dipelajari. Dengan semakin membuka diri dan bergaul dengan banyak orang, makin banyak orang yang akan kita temui dan kita jadikan narasumber kehidupan. Tinggal bagaimana kita mampu mengambil pelajaran dari pergaulan itu, bagaimana kita bisa memilah hal-hal apa saja yang dapat kita pergunakan untuk mengembangkan diri kita menjadi lebih baik.

Pengalaman hidup tiap orang berbeda, dan kita akan sangat beruntung apabila kita dapat ikut memetik pelajaran dari pengalaman orang lain. Bagaimanapun juga pengalaman adalah guru yang terbaik. Bukan saja pengalaman pribadi yang berguna, tapi pengalaman hidup orang lain pun tak kalah bergunanya. Sesuatu yang apabila kita menyadarinya, kita akan bisa selalu menghargai orang lain karena tiap orang memiliki ilmu dan pengalaman yang berharga untuk kita pelajari.

Itulah cerita pertama yang tak ingin aku lupakan, hasil dari pergaulanku dengan banyak teman se-Jawa Timur kemarin. Selain itu, ada cerita kedua yang tak ingin aku lupakan, yang kebetulan terjadi pada saat aku dalam perjalanan pulang dari Kediri ke Madiun.

Dalam perjalanan ke Madiun itulah, di dalam mobil aku menerima SMS dari seorang saudara jauhku. Dalam SMS-nya dia mengabarkan bahwa Shasa berhasil menduduki ranking 1 di kelasnya saat kenaikan kelas ini. Ya, Kamis tanggal 25 Juni 2009 kemarin adalah perpisahan untuk anak-anak kelas 6 dan pengumuman juara kelas murid-murid kelas 1 - 6. Kebetulan, saudara jauhku yang merupakan anggota paguyuban kelas diundang untuk menghadiri acara perpisahan itu. Waktu nama Shasa dipanggil maju ke atas panggung untuk menerima hadiah, dia langsung mengirimkan SMS buatku.

Alhamdulillah..., aku merasa lega karena Shasa telah berhasil dalam perjuangannya. Memang sejak Shasa kelas 3 ini, aku tidak terlalu terlibat dalam urusan belajarnya. Dulu sewaktu Shasa kelas 1 sampai kelas 2, aku sangat terlibat dalam kegiatan belajarnya. Aku bahkan mengetikkan soal-soal untuk dikerjakannya saat dia mau ulangan. Aku juga aktif dalam memberikan tebakan soal secara lisan untuknya. Hanya saja, "kejelekanku" adalah aku menginginkan Shasa bisa menjawab semua pertanyaanku (baik lisan maupun tertulis) dengan betul. Kalau sampai masih ada yang salah, aku cenderung mendorong dia untuk mempelajarinya lagi.

Sebenarnya aku tidak pernah menuntut Shasa untuk menjadi ranking 1 seperti sekarang. Selama ini Shasa juga sudah tahu bahwa aku hanya memintanya melakukan yang terbaik yang dia bisa. Bagiku, masuk 5 besar saja sudah bagus. Kalaupun aku sering memintanya untuk mampu menjawab semua pertanyaanku dengan betul, itu adalah keinginanku agar Shasa memiliki persiapan yang cukup. Sehingga sewaktu kelas 1 dan kelas 2, aku sudah bersyukur ketika Shasa mendapatkan ranking berfluktuasi dari posisi 3 sampai posisi 5.

Lama kelamaan aku menyadari bahwa caraku mempersiapkan Shasa menghadapi ujian sekolahnya tidak tepat. Aku merasa bahwa Shasa cukup stres dengan caraku seperti itu, karena terus terang saja, aku memperlakukan Shasa seperti aku memperlakukan diriku sendiri saat menghadapi ulangan sekolah bertahun-tahun yang lalu. Makanya, begitu Shasa naik kelas 3 aku mulai merubah caraku.

Aku melihat Shasa sudah mempunyai kesadaran sendiri untuk belajar. Tanpa perlu disuruh Shasa akan belajar dan mengerjakan PRnya sendiri. Hanya di saat menemui kesulitan, Shasa akan meminta tolong. Sehingga, saat menghadapi ulangan aku pun mulai melepasnya. Kuberikan tanggung jawab itu sepenuhnya pada Shasa, aku hanya mengawasi dan menemani. Dia kuijinkan belajar dan berhenti belajar sekehendak hatinya. Ternyata.., aku melihat Shasa cukup bertanggung jawab.

Hasilnya dari perubahan yang aku lakukan itu adalah, pada semester ganjil kemarin Shasa berhasil menduduki ranking 2 di kelasnya. Dan pada saat kenaikan kelas ini prestasi Shasa malah naik, ranking 1. Alhamdulillah..., sesuatu yang sebenarnya di luar dugaanku. Ternyata Shasa bisa membuktikan bahwa dia mampu melakukannya sendiri, dan aku hanya perlu mengawasi dan menemani.

Namun, satu hal yang aku syukuri adalah kelas Shasa adalah kelas yang dinamis. Selalu ada perubahan yang tak terduga di sana. Kalau aku amati, sejak kelas 1 sampai kelas 3 ini, anak-anak yang duduk di ranking 10 besar selalu berputar. Tak pernah statis. Itu menunjukkan bahwa tingkat kompetisi di kelas Shasa termasuk ketat juga.

Oleh karena itu aku mempersiapkan dan menasehati Shasa untuk menghadapi segala kemungkinan dengan lapang dada. Kalau saat ini ada di atas, jangan putus asa kalau lain kali ada di bawah. Karena semua berjuang dan berusaha dengan jujur untuk mendapatkan yang terbaik. Maka, siapa yang paling matang persiapannya pasti akan bisa mencapai puncak. Sementara yang sedang di bawah bukan berarti tidak pandai, namun persiapan dan usaha yang dilakukannya mungkin tidak sekeras yang bisa sampai di puncak.

Untuk saat ini Shasa mengerti apa yang aku nasehatkan padanya. Semoga saja dia tidak akan melupakan nasehatku itu dan tetap mampu berjuang dengan sportif meraih apa yang diimpilkannya. Amin.

Itu saja cerita yang tersisa yang kurasa perlu untuk kucatat di sini. Semoga selain bermanfaat bagiku, dapat bermanfaat juga bagi orang lain. Semoga...

Kamis, 25 Juni 2009

Rutinitas perjalanan pagi

Terkadang, aku melewatkan pagiku dengan ketergesaan. Diantara kesibukan rumah tangga pagi hari, aku juga harus mempersiapkan diri untuk ke kantor. Semua harus serba cepat, karena aku tidak ingin kami sampai terlambat di tujuan. Paling lambat, pukul 06.25 pagi kami sudah keluar dari rumah. Jadwal pertama, adalah mengantar Shasa ke sekolah dulu, kemudian baru aku menuju ke kantorku.

Dalam ketergesaan, aku tak mampu menikmati perjalanan pagiku. Apalagi kalau kami berangkat dari rumah sedikit terlambat dari jadwal, maka perjalanan akan menjadi lebih lambat. Karena di Madiun pun sudah mulai ada kemacetan, khususnya di pagi hari. Pada pagi hari khususnya, aktivitas mayoritas warga Kota Madiun adalah sama : berangkat beraktivitas. Sehingga.., terkumpullah kami di jalan-jalan yang ada di Kota Madiun dalam ketergesaan menuju tujuan masing-masing.

Dalam ketergesaan, semua ingin segera sampai ke tempat tujuan. Tidak ada ruang bagiku untuk menikmati perjalanan pagi hari. Suara bising kendaraan, suara klakson bersahut-sahutan dan polusi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor yang jumlahnya kian bertambah saja, benar-benar membuat perjalanan pagi sangat tidak nyaman.

Satu hal yang aku syukuri, Madiun bukanlah kota besar. Kalaupun kami berangkat sedikit lewat dari jadwal, kami masih bisa menempuh jarak yang ada dalam tenggang waktu yang singkat. Apalagi jarak yang harus kami tempuh dari rumah, ke sekolah Shasa dan ke kantorku tidaklah jauh. Sehingga aku pun masih bisa sampai kantor paling lambat pukul 06.50 WIB.

Terdorong keinginan untuk bisa menikmati perjalanan pagiku, maka aku cenderung untuk memilih berangkat lebih pagi. Apabila perjalanan pagi dapat kulewati tanpa ketergesaan, jalanan yang masih sepi dan asap knalpot yang masih sedikit, mampu membuatku leluasa menikmati perjalanan pagiku. Dan setiap hari Jum'at aku akan berangkat lebih pagi dari biasanya, karena pukul 06.30 di kantor sudah dilaksanakan Olah Raga bersama. Perjalanan Jumat pagi adalah perjalanan paling nyaman dari semua perjalanan pagiku, karena jalan-jalan masih sangat sepi.


Jalanan yang aku lewati setiap pagi saat masih sepi


Jalan di dekat kantorku berada

Dalam perjalanan pagiku tanpa ketergesaan, aku mampu menikmati setiap sudut kota yang aku lewati. Ternyata banyak tempat, banyak jalan yang aku lewati dengan rasa syukur. Madiunku tergolong bersih dan hijau dan melewati jalan-jalan yang bersih dari sampah dan kotoran di pagi hari, ternyata membuatku semakin berseri. Menyaksikan dan menikmati rindangnya pepohonan di sisi jalan, membuatku sadar bahwa betapa aku mencintai kota kelahiranku ini.

Semoga rutinitas perjalanan pagiku akan tetap memberikan kedamaian dan kenyamanan sampai aku tiba di tempat tujuan untuk memulai aktivitasku. Amin...

Rutinitas perjalanan pagi

Terkadang, aku melewatkan pagiku dengan ketergesaan. Diantara kesibukan rumah tangga pagi hari, aku juga harus mempersiapkan diri untuk ke kantor. Semua harus serba cepat, karena aku tidak ingin kami sampai terlambat di tujuan. Paling lambat, pukul 06.25 pagi kami sudah keluar dari rumah. Jadwal pertama, adalah mengantar Shasa ke sekolah dulu, kemudian baru aku menuju ke kantorku.

Dalam ketergesaan, aku tak mampu menikmati perjalanan pagiku. Apalagi kalau kami berangkat dari rumah sedikit terlambat dari jadwal, maka perjalanan akan menjadi lebih lambat. Karena di Madiun pun sudah mulai ada kemacetan, khususnya di pagi hari. Pada pagi hari khususnya, aktivitas mayoritas warga Kota Madiun adalah sama : berangkat beraktivitas. Sehingga.., terkumpullah kami di jalan-jalan yang ada di Kota Madiun dalam ketergesaan menuju tujuan masing-masing.

Dalam ketergesaan, semua ingin segera sampai ke tempat tujuan. Tidak ada ruang bagiku untuk menikmati perjalanan pagi hari. Suara bising kendaraan, suara klakson bersahut-sahutan dan polusi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor yang jumlahnya kian bertambah saja, benar-benar membuat perjalanan pagi sangat tidak nyaman.

Satu hal yang aku syukuri, Madiun bukanlah kota besar. Kalaupun kami berangkat sedikit lewat dari jadwal, kami masih bisa menempuh jarak yang ada dalam tenggang waktu yang singkat. Apalagi jarak yang harus kami tempuh dari rumah, ke sekolah Shasa dan ke kantorku tidaklah jauh. Sehingga aku pun masih bisa sampai kantor paling lambat pukul 06.50 WIB.

Terdorong keinginan untuk bisa menikmati perjalanan pagiku, maka aku cenderung untuk memilih berangkat lebih pagi. Apabila perjalanan pagi dapat kulewati tanpa ketergesaan, jalanan yang masih sepi dan asap knalpot yang masih sedikit, mampu membuatku leluasa menikmati perjalanan pagiku. Dan setiap hari Jum'at aku akan berangkat lebih pagi dari biasanya, karena pukul 06.30 di kantor sudah dilaksanakan Olah Raga bersama. Perjalanan Jumat pagi adalah perjalanan paling nyaman dari semua perjalanan pagiku, karena jalan-jalan masih sangat sepi.


Jalanan yang aku lewati setiap pagi saat masih sepi


Jalan di dekat kantorku berada

Dalam perjalanan pagiku tanpa ketergesaan, aku mampu menikmati setiap sudut kota yang aku lewati. Ternyata banyak tempat, banyak jalan yang aku lewati dengan rasa syukur. Madiunku tergolong bersih dan hijau dan melewati jalan-jalan yang bersih dari sampah dan kotoran di pagi hari, ternyata membuatku semakin berseri. Menyaksikan dan menikmati rindangnya pepohonan di sisi jalan, membuatku sadar bahwa betapa aku mencintai kota kelahiranku ini.

Semoga rutinitas perjalanan pagiku akan tetap memberikan kedamaian dan kenyamanan sampai aku tiba di tempat tujuan untuk memulai aktivitasku. Amin...

Rabu, 24 Juni 2009

Istirahat sesaat

Rutinitas kegiatan sehari-hari memang terkadang bisa menimbulkan kejenuhan. Berkutat dengan hal yang sama secara terus menerus mau tak mau akan menimbulkan kebosanan juga. Tinggal bagaimana kita mampu mengusir rasa bosan itu agar kita tetap memiliki semangat untuk terus berkarya.

Terus terang saja, beberapa saat yang lalu aku pernah merasakan bosan dan malas untuk beraktivitas, bahkan untuk menulis di blog inipun aku berat melakukannya. Padahal..., menulis di blog adalah salah satu kegiatan yang sebenarnya paling kusukai saat ini.


Rasa bosan dan jenuh pun terkadang melandaku di kantor. Terkadang di saat-saat kegiatan sedang sangat banyak dan membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan semuanya, aku terserang rasa jenuh. Jenuh karena mengerjakan hal yang sama (dan berulang-ulang) dalam jangka waktu lama secara terus menerus. Sementara di sisi lain, pada saat pekerjaan terasa kurang menantang, timbul rasa bosan. Repot... repot...

Untungnya akhir-akhir ini aku mendapatkan tugas baru yang cukup mengasyikkan. Untuk pelaksanaannya aku harus sering berkoordinasi dengan daerah-daerah lain. Selain itu aku juga masih harus beberapa kali berkoordinasi dengan Provinsi dan Pusat (Jakarta) agar dalam pelaksanaan tugas baru itu aku tidak salah melangkah.

Masih terkait dengan tugas baruku itu, beberapa saat yang lalu aku mengikuti rapat ke Surabaya. Lumayan..., perjalanan dinas ke Surabaya saat itu cukup menghibur hatiku, karena aku keluar dari "rutinitas" harianku. Rasa senang sangat terasa, apalagi setelah aku dapat bertemu langsung dengan Mbak Fanda, sahabat dari dunia mayaku.

Dan, mulai hari ini (Rabu, 24 Juni 2009) aku kembali harus mengikuti rapat. Jika rapat sebelumnya dilakukan di Surabaya, maka kali ini bertempat di Kediri. Masalah penentuan tempat rapat di Kediri ini aku sambut dengan gembira. Alasannya adalah jarak Madiun-Kediri lebih dekat apabila dibandingkan dengan jarak dari Madiun-Surabaya. Selain itu, Meskipun Kediri tergolong dekat dengan Madiun, tapi seingatku aku baru kesana 3 kali hehehe..

Kembali ke acara rapatku.., selama acara rapat belum selesai, aku tak akan mampu berselancar di dunia maya, terutama untuk menjenguk blogku. Maka selama 2 hari (tanggal 24 dan 25 Juni 2009) aku tidak bisa menjumpai rumah sahabat blogger satu persatu. Pasti aku akan sangat merindukan blogku... *halaaaah*

Jadi selama aku masih mengikuti kegiatan rapat di Kediri belum selesai, berarti aku akan istirahat sesaat dari ngeblog. Tak akan lama.., hanya 2 hari saja. Dan kalaupun besok (25 Juni 2009) akan muncul postingan terbaruku, itu karena aku sudah menjadwalkannya sebelumnya.

Sudah begitu saja kawan..., sekarang aku minta ijin untuk istirahat sesaat. Semoga saja setelah acara rapatku di Kediri selesai, aku akan memiliki semangat yang lebih untuk melaksanakan tugas-tugas di kantor. Tentu saja tak lupa..., semoga saja aku makin semangat untuk berkarya lagi di blogku ini...


Istirahat sesaat

Rutinitas kegiatan sehari-hari memang terkadang bisa menimbulkan kejenuhan. Berkutat dengan hal yang sama secara terus menerus mau tak mau akan menimbulkan kebosanan juga. Tinggal bagaimana kita mampu mengusir rasa bosan itu agar kita tetap memiliki semangat untuk terus berkarya.

Terus terang saja, beberapa saat yang lalu aku pernah merasakan bosan dan malas untuk beraktivitas, bahkan untuk menulis di blog inipun aku berat melakukannya. Padahal..., menulis di blog adalah salah satu kegiatan yang sebenarnya paling kusukai saat ini.

Rasa bosan dan jenuh pun terkadang melandaku di kantor. Terkadang di saat-saat kegiatan sedang sangat banyak dan membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan semuanya, aku terserang rasa jenuh. Jenuh karena mengerjakan hal yang sama (dan berulang-ulang) dalam jangka waktu lama secara terus menerus. Sementara di sisi lain, pada saat pekerjaan terasa kurang menantang, timbul rasa bosan. Repot... repot...

Untungnya akhir-akhir ini aku mendapatkan tugas baru yang cukup mengasyikkan. Untuk pelaksanaannya aku harus sering berkoordinasi dengan daerah-daerah lain. Selain itu aku juga masih harus beberapa kali berkoordinasi dengan Provinsi dan Pusat (Jakarta) agar dalam pelaksanaan tugas baru itu aku tidak salah melangkah.

Masih terkait dengan tugas baruku itu, beberapa saat yang lalu aku mengikuti rapat ke Surabaya. Lumayan..., perjalanan dinas ke Surabaya saat itu cukup menghibur hatiku, karena aku keluar dari "rutinitas" harianku. Rasa senang sangat terasa, apalagi setelah aku dapat bertemu langsung dengan Mbak Fanda, sahabat dari dunia mayaku.

Dan, mulai hari ini (Rabu, 24 Juni 2009) aku kembali harus mengikuti rapat. Jika rapat sebelumnya dilakukan di Surabaya, maka kali ini bertempat di Kediri. Masalah penentuan tempat rapat di Kediri ini aku sambut dengan gembira. Alasannya adalah jarak Madiun-Kediri lebih dekat apabila dibandingkan dengan jarak dari Madiun-Surabaya. Selain itu, Meskipun Kediri tergolong dekat dengan Madiun, tapi seingatku aku baru kesana 3 kali hehehe..

Kembali ke acara rapatku.., selama acara rapat belum selesai, aku tak akan mampu berselancar di dunia maya, terutama untuk menjenguk blogku. Maka selama 2 hari (tanggal 24 dan 25 Juni 2009) aku tidak bisa menjumpai rumah sahabat blogger satu persatu. Pasti aku akan sangat merindukan blogku... *halaaaah*

Jadi selama aku masih mengikuti kegiatan rapat di Kediri belum selesai, berarti aku akan istirahat sesaat dari ngeblog. Tak akan lama.., hanya 2 hari saja. Dan kalaupun besok (25 Juni 2009) akan muncul postingan terbaruku, itu karena aku sudah menjadwalkannya sebelumnya.

Sudah begitu saja kawan..., sekarang aku minta ijin untuk istirahat sesaat. Semoga saja setelah acara rapatku di Kediri selesai, aku akan memiliki semangat yang lebih untuk melaksanakan tugas-tugas di kantor. Tentu saja tak lupa..., semoga saja aku makin semangat untuk berkarya lagi di blogku ini...

Selasa, 23 Juni 2009

Berselimut kecewa

Minggu pagi ketika aku sedang menyapu di depan rumah, aku melihat seseorang yang aku kenal di ujung jalan. Bu Gito namanya. Dia adalah penjual nasi pecel yang berkeliling dengan membawa sepeda. Setiap pagi dia selalu lewat di kompleks perumahanku untuk menjajakan nasi pecelnya. Sebenarnya, penjual nasi pecel keliling di kompleks perumahanku ada 2 orang, tapi aku dan keluarga lebih suka dengan pecel yang dijual Bu Gito.

Biasanya Bu Gito lewat di depan rumahku kurang lebih pukul 06.30 pagi, sayangnya pada jam-jam itu aku dan keluarga sedang dalam perjalanan menuju tempat kami masing-masing beraktivitas. Sehingga hanya pada hari Sabtu dan Minggu saja biasanya aku dapat bertemu dengan Bu Gito. Bahkan dulu, hampir setiap Sabtu dan Minggu pagi kami sekeluarga sering membeli pecel pada Bu Gito, tapi semenjak hampir setengah tahun ini kebiasaan itu sudah tidak ada lagi. Semenjak Bu Gito selalu berusaha menghindar dariku.

Seperti yang aku duga, pada Minggu pagi itu Bu Gito kembali menghindar dariku. Meskipun aku yakin dia tadi melihatku sedang menyapu di depan rumah, ternyata dia memilih untuk berbelok ke gang yang ada di ujung jalan. Terhadap kenyataan ini, perasaan yang paling dominan aku rasakan adalah .... kekecewaan.

Sebenarnya semua berawal dari suatu permohonan yang disampaikan Bu Gito padaku, di suatu Sabtu pagi kurang lebih 6 bulan yang lalu. Setelah dia melayani pesanan nasi pecelku, dia menyampaikan permintaan hendak meminjam uang padaku. Uang yang ingin dipinjamnya tidak banyak sebenarnya, tapi dia mengatakan dia sedang sangat membutuhkannya. Saat itu dia berjanji untuk segera mengembalikan di awal bulan berikutnya setelah uang arisannya keluar. Akhirnya, aku mengambil uang untuk membayar nasi pecel yang kubeli sekaligus untuk memberikan pinjaman uang untuknya.

Ternyata, pada hari yang ditentukan, Bu Gito tidak muncul di rumahku untuk menepati janjinya. Dia juga tak tampak lagi lewat di depan rumahku, atau mungkin aku saja yang tidak tahu dia lewat, karena setiap Senin sampai Jumat aku sudah berangkat ke kantor pagi-pagi. Tapi ternyata, pada hari Sabtu dan Minggu pun dia tak tampak lewat di depan rumahku.

Baru kurang lebih 3 minggu kemudian aku melihat Bu Gito lewat di depan rumahku. Kebetulan aku melihatnya, maka aku memanggilnya. Bukan untuk menagih hutangnya, tapi untuk membeli nasi pecel seperti biasa. Pada saat itulah Bu Gito berkata padaku bahwa uang yang akan dibayarkan padaku terpaksa terpakai untuk keperluan lain. Selain itu Bu Gito juga menceritakan kepadaku bahwa hutangnya kepada tetanggaku yang lain (Bu Anna) juga belum bisa dilunasinya.

Itulah komunikasi terakhirku dengan Bu Gito, karena setelah hari itu aku tak pernah lagi melihatnya. Kalaupun dia berjualan di kompleks perumahanku, seperti kejadian Minggu pagi itu, dia akan berbalik arah ketika melihatku. Dia akan berusaha untuk menghindar dariku.

Terus terang aku kecewa dengan sikapnya. Aku tak hendak mempersoalkan uang yang dipinjamnya dariku, namun yang membuatku kecewa adalah sikapnya yang tidak berterus terang dan sembunyi-sembunyi dariku. Seandainya saja pada hari yang telah dijanjikannya untuk membayar hutang padaku itu dia datang dan menjelaskan kerepotannya, aku malah akan dengan senang hati membantunya. Sayang sekali, justru pada hari itu dia tak datang dan tidak memberikan penjelasan apa-apa ataupun untuk minta maaf.

Pada pertemuan terakhirku dengan Bu Gito itupun tidak ada kata maaf yang diucapkannya karena tak sanggup menepati janjinya. Dia malah lebih sibuk menceritakan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya seolah mencari pemakluman dariku atas ketidakmampuannya melunasi hutang pada saat yang telah dijanjikannya.

Sebenarnya setelah pertemuan terakhirku dengannya, aku sudah mengikhlaskan uang itu. Aku tidak berharap bahwa uang itu akan kembali. Namun, ternyata Bu Gito masih saja dengan sengaja menghindar dariku dan aku tak memiliki kesempatan untuk berbicara dengannya.

Yang aku sayangkan, gara-gara hutang piutang, suatu hubungan yang dulunya telah terjalin baik menjadi rusak. Sudah banyak contoh kasusnya, malah ada yang persaudaraannya menjadi berantakan. Pihak yang memberikan hutang seringkali serba salah dalam menagih uangnya kepada saudara sendiri. Pihak yang berhutang seringkali merasa sakit hati kalau terus-menerus ditagih. Akhirnya..., kedua belah pihak memilih saling menjauh... dan hubungan persaudaraan jadi terputus.

Meskipun aku sudah tak menghrapkan uang itu kembali, tapi aku masih diselimuti rasa kecewa dengan sikapnya yang tidak mau jujur dan terbuka. Salahkah aku memiliki perasaan seperti itu... ? Bagaimana menurutmu, kawan ?

*) Keterangan : gambar diambil dari sini

Berselimut kecewa

Minggu pagi ketika aku sedang menyapu di depan rumah, aku melihat seseorang yang aku kenal di ujung jalan. Bu Gito namanya. Dia adalah penjual nasi pecel yang berkeliling dengan membawa sepeda. Setiap pagi dia selalu lewat di kompleks perumahanku untuk menjajakan nasi pecelnya. Sebenarnya, penjual nasi pecel keliling di kompleks perumahanku ada 2 orang, tapi aku dan keluarga lebih suka dengan pecel yang dijual Bu Gito.

Biasanya Bu Gito lewat di depan rumahku kurang lebih pukul 06.30 pagi, sayangnya pada jam-jam itu aku dan keluarga sedang dalam perjalanan menuju tempat kami masing-masing beraktivitas. Sehingga hanya pada hari Sabtu dan Minggu saja biasanya aku dapat bertemu dengan Bu Gito. Bahkan dulu, hampir setiap Sabtu dan Minggu pagi kami sekeluarga sering membeli pecel pada Bu Gito, tapi semenjak hampir setengah tahun ini kebiasaan itu sudah tidak ada lagi. Semenjak Bu Gito selalu berusaha menghindar dariku.

Seperti yang aku duga, pada Minggu pagi itu Bu Gito kembali menghindar dariku. Meskipun aku yakin dia tadi melihatku sedang menyapu di depan rumah, ternyata dia memilih untuk berbelok ke gang yang ada di ujung jalan. Terhadap kenyataan ini, perasaan yang paling dominan aku rasakan adalah .... kekecewaan.

Sebenarnya semua berawal dari suatu permohonan yang disampaikan Bu Gito padaku, di suatu Sabtu pagi kurang lebih 6 bulan yang lalu. Setelah dia melayani pesanan nasi pecelku, dia menyampaikan permintaan hendak meminjam uang padaku. Uang yang ingin dipinjamnya tidak banyak sebenarnya, tapi dia mengatakan dia sedang sangat membutuhkannya. Saat itu dia berjanji untuk segera mengembalikan di awal bulan berikutnya setelah uang arisannya keluar. Akhirnya, aku mengambil uang untuk membayar nasi pecel yang kubeli sekaligus untuk memberikan pinjaman uang untuknya.

Ternyata, pada hari yang ditentukan, Bu Gito tidak muncul di rumahku untuk menepati janjinya. Dia juga tak tampak lagi lewat di depan rumahku, atau mungkin aku saja yang tidak tahu dia lewat, karena setiap Senin sampai Jumat aku sudah berangkat ke kantor pagi-pagi. Tapi ternyata, pada hari Sabtu dan Minggu pun dia tak tampak lewat di depan rumahku.

Baru kurang lebih 3 minggu kemudian aku melihat Bu Gito lewat di depan rumahku. Kebetulan aku melihatnya, maka aku memanggilnya. Bukan untuk menagih hutangnya, tapi untuk membeli nasi pecel seperti biasa. Pada saat itulah Bu Gito berkata padaku bahwa uang yang akan dibayarkan padaku terpaksa terpakai untuk keperluan lain. Selain itu Bu Gito juga menceritakan kepadaku bahwa hutangnya kepada tetanggaku yang lain (Bu Anna) juga belum bisa dilunasinya.

Itulah komunikasi terakhirku dengan Bu Gito, karena setelah hari itu aku tak pernah lagi melihatnya. Kalaupun dia berjualan di kompleks perumahanku, seperti kejadian Minggu pagi itu, dia akan berbalik arah ketika melihatku. Dia akan berusaha untuk menghindar dariku.

Terus terang aku kecewa dengan sikapnya. Aku tak hendak mempersoalkan uang yang dipinjamnya dariku, namun yang membuatku kecewa adalah sikapnya yang tidak berterus terang dan sembunyi-sembunyi dariku. Seandainya saja pada hari yang telah dijanjikannya untuk membayar hutang padaku itu dia datang dan menjelaskan kerepotannya, aku malah akan dengan senang hati membantunya. Sayang sekali, justru pada hari itu dia tak datang dan tidak memberikan penjelasan apa-apa ataupun untuk minta maaf.

Pada pertemuan terakhirku dengan Bu Gito itupun tidak ada kata maaf yang diucapkannya karena tak sanggup menepati janjinya. Dia malah lebih sibuk menceritakan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya seolah mencari pemakluman dariku atas ketidakmampuannya melunasi hutang pada saat yang telah dijanjikannya.

Sebenarnya setelah pertemuan terakhirku dengannya, aku sudah mengikhlaskan uang itu. Aku tidak berharap bahwa uang itu akan kembali. Namun, ternyata Bu Gito masih saja dengan sengaja menghindar dariku dan aku tak memiliki kesempatan untuk berbicara dengannya.

Yang aku sayangkan, gara-gara hutang piutang, suatu hubungan yang dulunya telah terjalin baik menjadi rusak. Sudah banyak contoh kasusnya, malah ada yang persaudaraannya menjadi berantakan. Pihak yang memberikan hutang seringkali serba salah dalam menagih uangnya kepada saudara sendiri. Pihak yang berhutang seringkali merasa sakit hati kalau terus-menerus ditagih. Akhirnya..., kedua belah pihak memilih saling menjauh... dan hubungan persaudaraan jadi terputus.

Meskipun aku sudah tak menghrapkan uang itu kembali, tapi aku masih diselimuti rasa kecewa dengan sikapnya yang tidak mau jujur dan terbuka. Salahkah aku memiliki perasaan seperti itu... ? Bagaimana menurutmu, kawan ?

*) Keterangan : gambar diambil dari sini

Minggu, 21 Juni 2009

No One's Perfect : Cinta dan penerimaan

Buku No One's Perfect aku dapatkan saat di Madiun ada Pameran buku awal Juni 2009 yang lalu di tempat buku-buku yang diobral. Aku beruntung menemukan buku yang hebat ini. Melalui buku ini aku mendapatkan semangat dan inspirasi untuk lebih mensyukuri hidupku.

Buku No One's Perfect menceritakan kehidupan Hirotada Ototake. Oto-chan, begitulah dia biasa disapa, lahir pada tanggal 6 April 1976. Mulanya sang ayah berusaha menyembunyikan kenyataan dari istrinya bahwa anak mereka terlahir dalam kondisi Tetra-Melia, yaitu sebuah kelainan bawaan yang membuatnya hampir tak memiliki tangan dan kaki. Setelah 3 minggu sejak Oto-chan dilahirkan, akhirnya sang ibu diberi kesempatan untuk melihat bayinya untuk pertama kalinya.

Pada saat itu suasana di rumah sakit sangat tegang menunggu apa yang terjadi jika sang ibu melihat kondisi bayinya. Namun yang terjadi kemudian ternyata di luar dugaan, karena begitu melihat kondisi bayinya sang ibu berkata dengan sangat tulus : "Anakku, kamu sangat tampan".

Cinta dan penerimaan yang tulus dari kedua orang tuanya membuat Oto-chan tumbuh dan berkembang seperti layaknya orang normal. Mereka sangat peduli dengan pendidikan anaknya. Beberapa kali mereka memutuskan untuk pindah rumah, agar jarak dari rumah dengan sekolah Oto-chan tidak terlalu jauh. Selain itu, mereka juga tidak memasukkan anak mereka ke sekolah khusus bagi penyandang cacat. Mereka menganggap anaknya tidak memerlukan pendidikan khusus yang berbeda dari anak-anak normal lainnya.

Tentu saja keinginan orang tua Oto-chan itu tidak mudah, karena pada saat itu sekolah umum yang ada di Jepang tidak menyediakan fasilitas untuk penyandang cacat. Bahkan agar anaknya bisa bersekolah di sekolah umum, mereka memutuskan menemui Dewan Pendidikan Sekolah. Setelah Dewan Pendidikan Sekolah melihat sendiri kemampuan Oto-chan dalam menulis, makan dengan menggunakan sendok/garpu, menggunting kertas bahkan berjalan, akhirnya dia diijinkan masuk ke sekolah umum.

Sejak masuk sekolah, mulai dari Taman Kanak-kanak, kehadiran Oto-chan di sekolah selalu menarik perhatian teman-temannya. Anak-anak itu dengan lugu dan polos akan bertanya kepadanya mengapa dia tak memiliki tangan dan kaki. Hal tersebut tidak membuat dirinya dan ibunya menjadi bersedih hati. Bahkan, ibunya dengan tenang akan berkata, "Itu adalah masalah yang harus dipecahkannya sendiri." Sehingga, Oto-chan akan dengan senang hati menceritakan kepada teman-temannya mengapa dia terlahir tanpa tangan dan kaki.

Untuk pendidikan di sekolah, orang tua Oto-chan menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan pihak sekolah dan tidak ikut campur sama sekali. Sensei Takagi adalah guru SD yang membuat banyak kebijakan yang awalnya dianggap keterlaluan dan kejam bagi Oto-chan. Seperti tidak diperkenankan menggunakan kursi roda tanpa seijinnya, melarang murid lain memberikan bantuan apapun pada Oto-chan, dan masih banyak lagi.

"Sekarang kita dapat saja memanjakannya sekehendak kita, tapi suatu saat dia harus menghadapi semuanya sendirian. Tujuan saya adalah untuk mempersiapkan apa yang dia perlukan sekarang sebagai bekal dia di masa datang." (Alasan Sensei Takagi atas sikapnya yang keras pada Oto-chan, halaman 22)
Oto-chan memang berkembang dan berperilaku seperti anak normal lainnya. Dia sama sekali tak pernah berpikir bahwa dirinya cacat, selain itu teman-temannya juga seringkali "lupa" bahwa dia cacat. Semua menganggapnya sama normalnya dengan anak-anak lainnya. Mereka berkelahi (secara fisik), bermain, beraktivitas dan bahkan mengikuti lomba olah raga bersama.

Seringkali kehadiran Oto-chan mampu memberikan motivasi bagi teman-temannya untuk selalu berbuat baik. Bahkan salah satu gurunya pernah berkata bahwa karena keberadaannya, maka kelas menjadi sangat peduli kepada sesama, dimana setiap orang saling membantu tatkala ada teman yang menderita kesusahan.

Perjuangan Oto-chan memang hebat. Dia tidak pernah merasa memiliki keterbatasan dan sangat bersemangat menjalani hidupnya. Semua itu berkat penerimaan yang tulus dan cinta yang tanpa syarat yang diterimanya dari lingkungannya. Orang tua yang hebat, guru, teman-teman dan lingkungan sekolah yang mendukung semuanya membuat Oto-chan benar-benar "normal" seperti orang normal lainnya.

Semenjak kuliah di Universitas Waseda, Jepang, Oto-chan terlibat dalam kampanye tentang lingkungan "Bebas Rintangan".
Sampai sekarang pun Oto-chan tetap melanjutkan apa yang menjadi prinsipnya yaitu menegakkan sebuah lingkungan "bebas rintangan" bagi orang lain, baik dalam lingkungan pemerintahan, media dan di hadapan orang-orang yang dia temui.

Kegiatan tersebut berawal pada suatu hari yang dianggap sebagai titik balik dalam kehidupan Oto-chan. Suatu malam, di usianya yang ke-20 tahun, dia baru memikirkan mengapa dia terlahir cacat. Dalam benaknya kemudian muncul kesadaran bahwa mungkin dia dilahirkan dengan kondisi seperti itu untuk menyelesaikan suatu tugas yang akan terjadi di kemudian hari. Dan, berkat pemikiran itulah, dia kemudian lebih memfokuskan diri untuk mengasah potensi yang ada dalam dirinya agar lebih berguna bagi orang lain.

Poin yang perlu dicatat dari buku ini adalah :
  • Cinta dan penerimaan yang tulus dan tanpa syarat memberikan dampak yang sangat luar biasa pada pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.
  • Mampu menerima diri sendiri adalah modal utama untuk hidup bahagia dan berkembang optimal.
  • Setiap orang terlahir dengan memiliki kelebihan dan perannya sendiri, karena tak ada ciptaan-Nya yang sia-sia.
Penulis : Hirotada Ototake
Kategori : Non Fiksi ~ Kisah Nyata
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
Th. Terbit : 2007 (cetakan III)
Tebal : 230 halaman
Cover : Soft Cover
Harga : Rp. 10.000 (obral)