Jumat, 30 Oktober 2009

Menjalani hidup

Ini kisah dari seorang kawan. Awalnya dia kukenal sebagai orang yang ceria dan terbuka, namun selama sebulan ini tiba-tiba sikapnya berubah. Dia menjadi pendiam, bahkan cenderung pemurung dan tertutup. Aku dan teman-teman yang lain heran dengan perubahannya itu. Dia seperti orang yang tak memiliki semangat sama sekali dalam menjalani hidup.

Hingga suatu kali, entah apa awalnya aku lupa, dia bicara banyak kepadaku. Diceritakan kepadaku bahwa suatu ketika dia telah membuat pilihan hidup yang salah. Akibat dari kesalahan itu, dia merasa hidupnya tak lagi bahagia. Baginya, kesalahan yang pernah diambilnya telah menutup jalan menuju kebahagiaan.




Aku tertegun mendengar ceritanya. Sungguh aku tak habis pikir mengapa dia telah melewatkan banyak waktu dan kesempatan untuk meraih bahagia hanya karena sebuah kesalahan yang telah diperbuatnya. Meskipun kesalahan itu telah terjadi, toh kehidupannya tetap harus berjalan dan dia berhak untuk merasakan kebahagiaan.

Hidup itu pilihan, kawan. Terserah pada kita apakah kita ingin bahagia atau tidak. Terserah kita apakah kita ingin memanfaatkan hidup dengan sebaik-baiknya atau tidak. Masih banyak peluang untuk memberikan yang terbaik untuk diri kita dan juga orang lain. Kita sebagai manusia memang tak akan luput dari kesalahan, namun jika kita berbuat kesalahan itu bukan berarti akhir dari segalanya.

Aku kembali teringat dengan sebuah email dari seorang kawan lama. Email ini sudah lama sekali aku terima, sengaja aku cari untuk aku bagi kepada kawanku yang berduka itu. Alhamdulillah..., kini dia kembali bisa tersenyum. Dia telah mencoba berdamai dengan dirinya sendiri dan menerima akibat dari kesalahan yang telah dipilihnya. Dia kembali bersemangat untuk meraih kembali kebahagiaannya.

Ohya, ini adalah email yang aku dapatkan dari seorang kawan lama dan telah aku bagikan kepada kawan yang bermasalah itu. Meskipun ini email sederhana, semoga saja tetap dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga...
Seorang mahasiswa kuliahnya tidak serius. Kadang masuk kuliah kadang tidak, tugas terbengkalai, SKS yang harus dikejar masih banyak, dan jarang sekali belajar. Begitu ditanya ternyata dia merasa terjebak masuk ke jurusan yang dipilihnya karena dia hanya ikut-ikutan saja. Teman-temannya masuk jurusan tersebut, dia pun ikut.

“Mengapa kamu tidak pindah saja?” tanya temannya, Budi.

“Ah, biarlah, nasi sudah menjadi bubur” jawabnya, tidak peduli.

“Apakah kamu akan tetap seperti ini?”

“Mau gimana lagi, saya bilang nasi sudah jadi bubur, tidak bisa diperbaiki lagi.” jawabnya berargumen.

“Kalau kamu pindah kejurusan yang kamu sukai, kan kamu akan lebih enjoy.” kata temannya.

“Saya ini sudah tua, masa harus kuliah dari awal lagi. Saya terlambat menyadari kalau saya salah masuk jurusan.” jelasnya sambil merebahkan diri di kasur dan mengambil remote control TV-nya.

“Memang tidak ada yang bisa kamu lakukan lagi?” selidik temannya.

“Tidak, saya sudah katakan berulang-ulang nasi sudah jadi bubur.”

Temannya pun diam sejenak, dia bingung melihat temannya yang sudah tidak semangat lagi. Kemudian dia teringat pada temannya yang memiliki nasib yang sama, salah memilih jurusan. Dia pun pulang ke rumahnya kemudian menelpon temannya tersebut.

“Jaka, perasaan kamu pernah cerita sama saya, kalau kamu salah memilih jurusan?” tanya Budi kepada Jaka.

“Memang saya salah memilih jurusan, memangnya kenapa?” jawab Jaka.

“Yang saya heran, kenapa kamu tetap semangat kuliah, sedangkan teman saya malah malas dan tidak serius kuliahnya.”

“Yah nggak tahu yah, saya juga dulu sempat seperti itu. Tapi sekarang sudah tidak lagi.” jelas Jaka.

“Apa sich resepnya?”

“Pertama saya merelakan diri masuk jurusan ini. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah. Jadi saya terima saja.”

“Terus?” kata Budi bersemangat

“Yang kedua, saya mencari cara menggabungkan ilmu yang saya miliki dijurusan ini, dengan hobi saya. Ternyata saya menjadi enjoy saja. Memang, saya terlanjur memilih jurusan ini, kata orang, nasi sudah jadi bubur. Tetapi kalau saya, nasi sudah menjadi bubur ayam spesial yang enak dan lebih mahal harganya ketimbang nasi.”

“Oh gitu….”

“Yah, kalau kita menyesali tidak ada manfaatnya. Kalau kita berusaha mengubah bubur jadi nasi, itu tidak mungkin. Satu-satunya cara ialah membuat bubur tersebut menjadi lebih nikmat, saya tambahkan ayam, ampela, telor, dan bumbu. Rasanya enak dan lebih mahal” jelas Jaka sambil tersenyum lebar.

Menjalani hidup

Ini kisah dari seorang kawan. Awalnya dia kukenal sebagai orang yang ceria dan terbuka, namun selama sebulan ini tiba-tiba sikapnya berubah. Dia menjadi pendiam, bahkan cenderung pemurung dan tertutup. Aku dan teman-teman yang lain heran dengan perubahannya itu. Dia seperti orang yang tak memiliki semangat sama sekali dalam menjalani hidup.

Hingga suatu kali, entah apa awalnya aku lupa, dia bicara banyak kepadaku. Diceritakan kepadaku bahwa suatu ketika dia telah membuat pilihan hidup yang salah. Akibat dari kesalahan itu, dia merasa hidupnya tak lagi bahagia. Baginya, kesalahan yang pernah diambilnya telah menutup jalan menuju kebahagiaan.




Aku tertegun mendengar ceritanya. Sungguh aku tak habis pikir mengapa dia telah melewatkan banyak waktu dan kesempatan untuk meraih bahagia hanya karena sebuah kesalahan yang telah diperbuatnya. Meskipun kesalahan itu telah terjadi, toh kehidupannya tetap harus berjalan dan dia berhak untuk merasakan kebahagiaan.

Hidup itu pilihan, kawan. Terserah pada kita apakah kita ingin bahagia atau tidak. Terserah kita apakah kita ingin memanfaatkan hidup dengan sebaik-baiknya atau tidak. Masih banyak peluang untuk memberikan yang terbaik untuk diri kita dan juga orang lain. Kita sebagai manusia memang tak akan luput dari kesalahan, namun jika kita berbuat kesalahan itu bukan berarti akhir dari segalanya.

Aku kembali teringat dengan sebuah email dari seorang kawan lama. Email ini sudah lama sekali aku terima, sengaja aku cari untuk aku bagi kepada kawanku yang berduka itu. Alhamdulillah..., kini dia kembali bisa tersenyum. Dia telah mencoba berdamai dengan dirinya sendiri dan menerima akibat dari kesalahan yang telah dipilihnya. Dia kembali bersemangat untuk meraih kembali kebahagiaannya.

Ohya, ini adalah email yang aku dapatkan dari seorang kawan lama dan telah aku bagikan kepada kawan yang bermasalah itu. Meskipun ini email sederhana, semoga saja tetap dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga...
Seorang mahasiswa kuliahnya tidak serius. Kadang masuk kuliah kadang tidak, tugas terbengkalai, SKS yang harus dikejar masih banyak, dan jarang sekali belajar. Begitu ditanya ternyata dia merasa terjebak masuk ke jurusan yang dipilihnya karena dia hanya ikut-ikutan saja. Teman-temannya masuk jurusan tersebut, dia pun ikut.

“Mengapa kamu tidak pindah saja?” tanya temannya, Budi.

“Ah, biarlah, nasi sudah menjadi bubur” jawabnya, tidak peduli.

“Apakah kamu akan tetap seperti ini?”

“Mau gimana lagi, saya bilang nasi sudah jadi bubur, tidak bisa diperbaiki lagi.” jawabnya berargumen.

“Kalau kamu pindah kejurusan yang kamu sukai, kan kamu akan lebih enjoy.” kata temannya.

“Saya ini sudah tua, masa harus kuliah dari awal lagi. Saya terlambat menyadari kalau saya salah masuk jurusan.” jelasnya sambil merebahkan diri di kasur dan mengambil remote control TV-nya.

“Memang tidak ada yang bisa kamu lakukan lagi?” selidik temannya.

“Tidak, saya sudah katakan berulang-ulang nasi sudah jadi bubur.”

Temannya pun diam sejenak, dia bingung melihat temannya yang sudah tidak semangat lagi. Kemudian dia teringat pada temannya yang memiliki nasib yang sama, salah memilih jurusan. Dia pun pulang ke rumahnya kemudian menelpon temannya tersebut.

“Jaka, perasaan kamu pernah cerita sama saya, kalau kamu salah memilih jurusan?” tanya Budi kepada Jaka.

“Memang saya salah memilih jurusan, memangnya kenapa?” jawab Jaka.

“Yang saya heran, kenapa kamu tetap semangat kuliah, sedangkan teman saya malah malas dan tidak serius kuliahnya.”

“Yah nggak tahu yah, saya juga dulu sempat seperti itu. Tapi sekarang sudah tidak lagi.” jelas Jaka.

“Apa sich resepnya?”

“Pertama saya merelakan diri masuk jurusan ini. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah. Jadi saya terima saja.”

“Terus?” kata Budi bersemangat

“Yang kedua, saya mencari cara menggabungkan ilmu yang saya miliki dijurusan ini, dengan hobi saya. Ternyata saya menjadi enjoy saja. Memang, saya terlanjur memilih jurusan ini, kata orang, nasi sudah jadi bubur. Tetapi kalau saya, nasi sudah menjadi bubur ayam spesial yang enak dan lebih mahal harganya ketimbang nasi.”

“Oh gitu….”

“Yah, kalau kita menyesali tidak ada manfaatnya. Kalau kita berusaha mengubah bubur jadi nasi, itu tidak mungkin. Satu-satunya cara ialah membuat bubur tersebut menjadi lebih nikmat, saya tambahkan ayam, ampela, telor, dan bumbu. Rasanya enak dan lebih mahal” jelas Jaka sambil tersenyum lebar.

Rabu, 28 Oktober 2009

Setahun sudah

Ternyata, waktu cepat sekali berlalu. Tak terasa, setahun sudah blog "Catatan Kecilku" ini aku lahirkan, pada tanggal 28 Oktober 2008 yang lalu. Padahal, dulu awal membuat blog aku sama sekali tidak percaya diri dan tidak yakin bahwa blog ini dapat berumur panjang. Tapi ternyata..., 1 tahun telah aku lewati dan blog ini masih "baik-baik saja" ^_^

Kalau aku membaca
Catatan Pertamaku di blog ini..., terasa lucu dan wagu sekali. Terlihat sekali aku masih sangat kaku menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan. Namun, setelah sekian lama berlatih menulis, aku merasa kemampuanku sedikit demi sedikit semakin membaik. Eh, itu perasaanku saja lho.., entah kalau menurut penilaian dari sahabat semua. Tapi setidaknya, makin lama aku makin menikmati acara menulis ini.


Setelah setahun berkecimpung dalam blog ini, ternyata aku sudah menghasilkan banyak tulisan. Ini adalah tulisanku yang ke-254 di blog Catatan Kecilku ini. Sudah banyak juga ya ternyata.... aku sendiri tak menyangka bisa menulis sebanyak itu dalam rentang waktu 1 tahun hehehe....

Setelah aku cermati lagi, dari ke-254 postingan itu aku bagi dalam 12 label yaitu : award-ku (38 postingan), berita-ku (14), buku-ku (14), cerita-ku (78), curhat-ku (55), inspirasi-ku (23), kenangan-ku (25), opini-ku (21), puisi-ku (4), seputar-ku (35), Tugas-ku (3) dan wisata-ku (8). Khusus untuk postingan award-ku, telah aku pindahkan semua ke dalam blog "The Others.." namun begitu yang di sini tidak aku hapus, agar aku tetap dapat menghitung jumlah semua postingan di dalam blog ini secara riil.

Tentu saja, hal yang terbanyak aku catatkan disini adalah tentang cerita-ku, curhat-ku, seputar-ku dan kenangan-ku, karena blog ini adalah laksana catatan diriku. Segala hal yang menyangkut diriku sengaja aku tuangkan dalam blog ini. Sebuah blog yang dimaksudkan 'ringan' sekedar sarana bagiku untuk menyegarkan pikiran setelah seharian berkutat dengan pekerjaan kantor dan pekerjaan rumah tangga.

Semua tulisanku mengesankan untukku. Ya iyalah..., karena aku menyadari bahwa aku tak mudah membuatnya. Sehingga ketika tulisan itu berani aku publikasikan, itu karena sudah kuanggap 'layak' hehehe. Hanya satu yang sampai sekarang aku belum puas, yaitu ketika aku mencoba menulis puisi hasilnya selalu saja jelek. Hu uh... pengen banget bisa menulis puisi yang indah, tapi sampai sekarang belum berhasil.

Aku paling aktif dan semangat untuk ngeblog adalah bulan April 2009. Pada bulan itu, aku berhasil membuat 30 postingan..!! Itu rekor terbaikku lho... ^_^ Bulan selanjutnya, yaitu Mei 2009 aku masih memiliki 'sisa' semangat itu, karena dalam 1 bulan aku berhasil membuat 27 postingan. Kebetulan, bulan-bulan itu aku belum terlalu disibukkan dengan pekerjaan kantor, sehingga semangatku untuk ngeblog dapat tersalurkan hehehe...

Terima kasih untuk sahabat semua yang senantiasa memberikan dukungan untukku sehingga aku makin semangat untuk ngeblog. Juga terima kasih tak terhingga bagi semua sahabat yang telah dengan sukarela memberikan bantuan kepadaku, terutama yang menyangkut teknis ngeblog, sehingga aku dapat memiliki blog yang (menurutku) cantik ini (dilarang protes bagi yang kurang berkenan hehehe..).

Terima kasih semuanya.... Aku sungguh tak menyesal telah mengenal blog dan mengenal kalian semua... I love you all....

Setahun sudah

Ternyata, waktu cepat sekali berlalu. Tak terasa, setahun sudah blog "Catatan Kecilku" ini aku lahirkan, pada tanggal 28 Oktober 2008 yang lalu. Padahal, dulu awal membuat blog aku sama sekali tidak percaya diri dan tidak yakin bahwa blog ini dapat berumur panjang. Tapi ternyata..., 1 tahun telah aku lewati dan blog ini masih "baik-baik saja" ^_^

Kalau aku membaca
Catatan Pertamaku di blog ini..., terasa lucu dan wagu sekali. Terlihat sekali aku masih sangat kaku menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan. Namun, setelah sekian lama berlatih menulis, aku merasa kemampuanku sedikit demi sedikit semakin membaik. Eh, itu perasaanku saja lho.., entah kalau menurut penilaian dari sahabat semua. Tapi setidaknya, makin lama aku makin menikmati acara menulis ini.


Setelah setahun berkecimpung dalam blog ini, ternyata aku sudah menghasilkan banyak tulisan. Ini adalah tulisanku yang ke-254 di blog Catatan Kecilku ini. Sudah banyak juga ya ternyata.... aku sendiri tak menyangka bisa menulis sebanyak itu dalam rentang waktu 1 tahun hehehe....

Setelah aku cermati lagi, dari ke-254 postingan itu aku bagi dalam 12 label yaitu : award-ku (38 postingan), berita-ku (14), buku-ku (14), cerita-ku (78), curhat-ku (55), inspirasi-ku (23), kenangan-ku (25), opini-ku (21), puisi-ku (4), seputar-ku (35), Tugas-ku (3) dan wisata-ku (8). Khusus untuk postingan award-ku, telah aku pindahkan semua ke dalam blog "The Others.." namun begitu yang di sini tidak aku hapus, agar aku tetap dapat menghitung jumlah semua postingan di dalam blog ini secara riil.

Tentu saja, hal yang terbanyak aku catatkan disini adalah tentang cerita-ku, curhat-ku, seputar-ku dan kenangan-ku, karena blog ini adalah laksana catatan diriku. Segala hal yang menyangkut diriku sengaja aku tuangkan dalam blog ini. Sebuah blog yang dimaksudkan 'ringan' sekedar sarana bagiku untuk menyegarkan pikiran setelah seharian berkutat dengan pekerjaan kantor dan pekerjaan rumah tangga.

Semua tulisanku mengesankan untukku. Ya iyalah..., karena aku menyadari bahwa aku tak mudah membuatnya. Sehingga ketika tulisan itu berani aku publikasikan, itu karena sudah kuanggap 'layak' hehehe. Hanya satu yang sampai sekarang aku belum puas, yaitu ketika aku mencoba menulis puisi hasilnya selalu saja jelek. Hu uh... pengen banget bisa menulis puisi yang indah, tapi sampai sekarang belum berhasil.

Aku paling aktif dan semangat untuk ngeblog adalah bulan April 2009. Pada bulan itu, aku berhasil membuat 30 postingan..!! Itu rekor terbaikku lho... ^_^ Bulan selanjutnya, yaitu Mei 2009 aku masih memiliki 'sisa' semangat itu, karena dalam 1 bulan aku berhasil membuat 27 postingan. Kebetulan, bulan-bulan itu aku belum terlalu disibukkan dengan pekerjaan kantor, sehingga semangatku untuk ngeblog dapat tersalurkan hehehe...

Terima kasih untuk sahabat semua yang senantiasa memberikan dukungan untukku sehingga aku makin semangat untuk ngeblog. Juga terima kasih tak terhingga bagi semua sahabat yang telah dengan sukarela memberikan bantuan kepadaku, terutama yang menyangkut teknis ngeblog, sehingga aku dapat memiliki blog yang (menurutku) cantik ini (dilarang protes bagi yang kurang berkenan hehehe..).

Terima kasih semuanya.... Aku sungguh tak menyesal telah mengenal blog dan mengenal kalian semua... I love you all....

Selasa, 27 Oktober 2009

Mengapa ?

Anak kecil seringkali mampu melakukan hal-hal yang menakjubkan. Sebagai contoh, mereka seringkali mengajukan berbagai pertanyaan yang tak terduga, yang bahkan tak pernah kita duga bahwa pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulutnya. Bahkan seringkali kita pun tak memiliki jawaban yang tepat untuk menjawabnya.

Masih seputar pertanyaan dari anak-anak, beberapa hari yang lalu aku mendapatkan email dari seorang kawan tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh seorang anak kecil yang pada akhirnya membuat orangtuanya kewalahan untuk menjawabnya. Semoga kita dapat belajar dari kisah berikut ini.

Tampang bingung. Itulah gambaran yang bisa dilukiskan di wajah seorang bocah 6 tahun, saat melihat lalu-lalangnya kendaraan di jalan. Bocah itu seakan tidak memperdulikan hilir mudik orang-orang yang melaluinya bahkan ada beberapa orang yang hampir menendangnya. Dia pun seakan tidak senang saat beberapa orang yang lewat memasukan uang receh ke dalam kaleng yang sengaja di simpan di depannya.

“Sudah dapat berapa Ujang?” sapa seorang wanita umur 40 tahunan yang mengagetkan si Ujang. Si Ujang menengok wanita yang nampak lebih tua dari umur sebenarnya. Wanita itu tiada lain adalah ibunya yang sama-sama membuka praktek mengemis sekitar 100-200 meter dari tempat si Ujang mengemis.

“Nggak tahu Mak, hitung aja sendiri,” jawab si Ujang sambil melihat kaleng yang ada di depannya. Tanpa menunggu, wanita yang dipanggil Emak itu mengambil kaleng yang ada di depan si Ujang. Kemudian isi kaleng tersebut ditumpahkan ke atas kertas koran yang menjadi alas mereka duduk.

“Lumayan Ujang, bisa membeli nasi malam ini. Sisanya buat membeli kupat tahu besok pagi.” Kata si Emak sambil tersenyum lebar, karena rezeki malam itu lebih banyak dari hari-hari biasanya.

“Mak…” kata si Ujang tanpa menghiraukan ucapan ibunya, “Koq orang lain punya mobil? Kenapa Emak nggak punya?” Tanya si Ujang sambil menatap wajah ibunya.

“Ah, si Ujang mah, aya-aya wae, boro-boro punya mobil, saung aja kita mah nggak punya.” kata si Emak sambil tersenyum. Si Emak kemudian membungkus uang yang telah dipisahkannya untuk besok dengan sapu tangan yang sudah lusuh dan dekil.

“Iya, tapi kenapa Mak?” Rupanya jawaban si Emak tidak memuaskan si Ujang.

“Ujang …. Ujang….” kata si Emak sambil tersenyum. “Kita tidak punya uang banyak untuk membeli mobil.” kata si Emak mencoba menjelaskan. Tetapi nampaknya si Ujang belum puas juga,

“Kenapa kita tidak punya uang banyak Mak?” tanyanya sambil melirik si Emak.

“Kitakan cuma pengemis, kalau orang lain mah kerja kantoran jadi uangnya banyak.” kata si Emak yang nampak akan beranjak. Seperti biasa sehabis matahari tenggelam si Emak membeli nasi dengan porsi agak banyak dengan 3 potong tempe atau tahu. Satu potong untuk si Emak sedangkan 2 potong untuk si Ujang anak semata wayangnya.

Sekembali membeli nasi, si Ujang masih menyimpan pertanyaan. Raut wajah si Ujang masih nampak bingung.

“Ada apa lagi Ujang?” kata si Emak sambil menyeka keringat di keningnya.

“Kenapa Emak nggak kerja kantoran saja?” tanya si Ujang dengan polosnya.

“Siapa yang mau ngasih kerjaan ke Emak, Emak mah orang bodoh, tidak sekolah.” Jawab si Emak sambil membuka bungkusan yang dibawanya.

“Udah …, sekarang makan dulu mumpung masih hangat!” Kata si Emak sambil mendekatkan nasi ke depan si Ujang. Si Ujang yang memang sudah lapar langsung menyantap makanan yang ada di depannya.

“Kenapa Emak nggak sekolah?” tanya si Ujang sambil mengunyah nasi plus tempe.

“Orang tua Emak nggak punya uang, jadi Emak nggak bisa sekolah.”

“Ujang bakal sekolah nggak?” kata si Ujang sambil menatap mata si Emak penuh harap.

Emak agak bingung menjawab pertanyaan si Ujang. Lamunan Emak menerawang mengingat kembali mendiang suaminya, yang telah mendahuluinya. Mata si Emak mulai berkaca-kaca. Karena gelapnya malam, si Ujang tidak melihat butiran bening yang mulai menuruni pipi wanita yang dipanggil Emak tersebut. Karena tak kunjung dijawab, si Ujang bertanya lagi

“Kalau Ujang nggak sekolah, nanti kayak Emak lagi dong. Iya kan Mak?”

Pertanyaan Ujang makin menyesakkan dada si Emak. Siapa yang ingin punya anak menjadi pengemis, tetapi si Emak bingung harus berbuat apa. Si Emak cuma melanjutkan menghabiskan nasi sambil menahan tangisnya. Akhirnya si Ujang pun diam sambil mengunyah nasi yang tinggal sedikit lagi. Deru mesin mobil menemani dua insan di pinggir jalan yang sedang menikmati rezeki Allah SWT yang mereka dapatkan. Diterangi lampu jalan mereka pun mulai berbenah untuk merebahkan diri. Di kepala si Ujang masih penuh tanda tanya, mau jadi apa dia kelak. Apakah akan sama seperti Emaknya saat ini?
Sebuah kisah yang memotret keluguan dan rasa ingin tahu anak. Sebuah potret tentang seorang anak yang khawatir mendapatkan 'warisan' kemiskinan dan kebodohan. Sebuah gambaran tentang orang tua yang tak berdaya dalam memberikan kehidupan yang lebih baik kepada buah hatinya. Sebuah cerita tentang pertanyaan yang hanya mampu dijawab dalam kepedihan yang bisu.... Semoga tak akan ada lagi pertanyaan serupa pada generasi penerus kita....

Mengapa ?

Anak kecil seringkali mampu melakukan hal-hal yang menakjubkan. Sebagai contoh, mereka seringkali mengajukan berbagai pertanyaan yang tak terduga, yang bahkan tak pernah kita duga bahwa pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulutnya. Bahkan seringkali kita pun tak memiliki jawaban yang tepat untuk menjawabnya.

Masih seputar pertanyaan dari anak-anak, beberapa hari yang lalu aku mendapatkan email dari seorang kawan tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh seorang anak kecil yang pada akhirnya membuat orangtuanya kewalahan untuk menjawabnya. Semoga kita dapat belajar dari kisah berikut ini.

Tampang bingung. Itulah gambaran yang bisa dilukiskan di wajah seorang bocah 6 tahun, saat melihat lalu-lalangnya kendaraan di jalan. Bocah itu seakan tidak memperdulikan hilir mudik orang-orang yang melaluinya bahkan ada beberapa orang yang hampir menendangnya. Dia pun seakan tidak senang saat beberapa orang yang lewat memasukan uang receh ke dalam kaleng yang sengaja di simpan di depannya.

“Sudah dapat berapa Ujang?” sapa seorang wanita umur 40 tahunan yang mengagetkan si Ujang. Si Ujang menengok wanita yang nampak lebih tua dari umur sebenarnya. Wanita itu tiada lain adalah ibunya yang sama-sama membuka praktek mengemis sekitar 100-200 meter dari tempat si Ujang mengemis.

“Nggak tahu Mak, hitung aja sendiri,” jawab si Ujang sambil melihat kaleng yang ada di depannya. Tanpa menunggu, wanita yang dipanggil Emak itu mengambil kaleng yang ada di depan si Ujang. Kemudian isi kaleng tersebut ditumpahkan ke atas kertas koran yang menjadi alas mereka duduk.

“Lumayan Ujang, bisa membeli nasi malam ini. Sisanya buat membeli kupat tahu besok pagi.” Kata si Emak sambil tersenyum lebar, karena rezeki malam itu lebih banyak dari hari-hari biasanya.

“Mak…” kata si Ujang tanpa menghiraukan ucapan ibunya, “Koq orang lain punya mobil? Kenapa Emak nggak punya?” Tanya si Ujang sambil menatap wajah ibunya.

“Ah, si Ujang mah, aya-aya wae, boro-boro punya mobil, saung aja kita mah nggak punya.” kata si Emak sambil tersenyum. Si Emak kemudian membungkus uang yang telah dipisahkannya untuk besok dengan sapu tangan yang sudah lusuh dan dekil.

“Iya, tapi kenapa Mak?” Rupanya jawaban si Emak tidak memuaskan si Ujang.

“Ujang …. Ujang….” kata si Emak sambil tersenyum. “Kita tidak punya uang banyak untuk membeli mobil.” kata si Emak mencoba menjelaskan. Tetapi nampaknya si Ujang belum puas juga,

“Kenapa kita tidak punya uang banyak Mak?” tanyanya sambil melirik si Emak.

“Kitakan cuma pengemis, kalau orang lain mah kerja kantoran jadi uangnya banyak.” kata si Emak yang nampak akan beranjak. Seperti biasa sehabis matahari tenggelam si Emak membeli nasi dengan porsi agak banyak dengan 3 potong tempe atau tahu. Satu potong untuk si Emak sedangkan 2 potong untuk si Ujang anak semata wayangnya.

Sekembali membeli nasi, si Ujang masih menyimpan pertanyaan. Raut wajah si Ujang masih nampak bingung.

“Ada apa lagi Ujang?” kata si Emak sambil menyeka keringat di keningnya.

“Kenapa Emak nggak kerja kantoran saja?” tanya si Ujang dengan polosnya.

“Siapa yang mau ngasih kerjaan ke Emak, Emak mah orang bodoh, tidak sekolah.” Jawab si Emak sambil membuka bungkusan yang dibawanya.

“Udah …, sekarang makan dulu mumpung masih hangat!” Kata si Emak sambil mendekatkan nasi ke depan si Ujang. Si Ujang yang memang sudah lapar langsung menyantap makanan yang ada di depannya.

“Kenapa Emak nggak sekolah?” tanya si Ujang sambil mengunyah nasi plus tempe.

“Orang tua Emak nggak punya uang, jadi Emak nggak bisa sekolah.”

“Ujang bakal sekolah nggak?” kata si Ujang sambil menatap mata si Emak penuh harap.

Emak agak bingung menjawab pertanyaan si Ujang. Lamunan Emak menerawang mengingat kembali mendiang suaminya, yang telah mendahuluinya. Mata si Emak mulai berkaca-kaca. Karena gelapnya malam, si Ujang tidak melihat butiran bening yang mulai menuruni pipi wanita yang dipanggil Emak tersebut. Karena tak kunjung dijawab, si Ujang bertanya lagi

“Kalau Ujang nggak sekolah, nanti kayak Emak lagi dong. Iya kan Mak?”

Pertanyaan Ujang makin menyesakkan dada si Emak. Siapa yang ingin punya anak menjadi pengemis, tetapi si Emak bingung harus berbuat apa. Si Emak cuma melanjutkan menghabiskan nasi sambil menahan tangisnya. Akhirnya si Ujang pun diam sambil mengunyah nasi yang tinggal sedikit lagi. Deru mesin mobil menemani dua insan di pinggir jalan yang sedang menikmati rezeki Allah SWT yang mereka dapatkan. Diterangi lampu jalan mereka pun mulai berbenah untuk merebahkan diri. Di kepala si Ujang masih penuh tanda tanya, mau jadi apa dia kelak. Apakah akan sama seperti Emaknya saat ini?
Sebuah kisah yang memotret keluguan dan rasa ingin tahu anak. Sebuah potret tentang seorang anak yang khawatir mendapatkan 'warisan' kemiskinan dan kebodohan. Sebuah gambaran tentang orang tua yang tak berdaya dalam memberikan kehidupan yang lebih baik kepada buah hatinya. Sebuah cerita tentang pertanyaan yang hanya mampu dijawab dalam kepedihan yang bisu.... Semoga tak akan ada lagi pertanyaan serupa pada generasi penerus kita....

Minggu, 25 Oktober 2009

Belajar dan bekerja

Kembali bicara tentang pekerjaan. Saat ini pekerjaanku memang menuntut perhatian yang lebih banyak. Bukan itu saja, bahkan aku juga harus menghabiskan lebih banyak waktuku untuk pekerjaan ini. Bagiku wajar saja jika kemudian aku merasa kelelahan, baik fisik maupun psikis.

Kelelahan ini bukan karena aku tidak menyukai pekerjaan yang sedang aku jalankan. Bisa aku pastikan bahwa aku mencintai pekerjaanku. Namun, kelelahan mentalku terkadang terjadi karena aku tak kuasa membendung segala hal yang saat ini terjadi di luar kendaliku, di luar kuasaku. Memang bukan hal yang buruk sebenarnya, hanya saja aku belum mampu menerima hal itu terjadi.

Suka duka sebagai wanita yang bekerja memang sudah sering aku alami dan rasakan. Semuanya telah membentukku menjadi diriku yang sekarang. Aku merasa, aku telah jauh lebih 'kuat' setelah menjalani aneka macam halangan dan rintangan selama bekerja. Awalnya memang tidak mudah, tapi lama kelamaan aku sudah mulai Percaya Diri dalam menjalani pekerjaanku. *Pelajaran nomor 1 : pekerjaan mampu menumbuhkan rasa percaya diri seseorang*

Pekerjaan yang aku jalani juga memberiku ilmu dan pelajaran yang lain. Selama ini pekerjaanku menuntutku untuk berhubungan dengan banyak orang, dari orang biasa sampai pejabat. Memberikan pelayanan kepada berbagai macam orang, ternyata memang membutuhkan kepekaan tersendiri. Aku belajar agar bisa membuat orang-orang yang dilayani merasa penting dan dihargai. *Pelajaran nomor 2 : setiap orang ingin dihargai dan dianggap penting*

Kamis yang lalu aku bersama pimpinanku melakukan hearing dengan Anggota DPRD. Dalam jangka waktu hampir 2 jam itu, aku harus bisa memberikan jawaban yang memuaskan kepada para anggota dewan tersebut. Untuk itu, aku sudah mempersiapkan sebanyak mungkin bahan-bahan yang sekiranya diperlukan. Alhamdulillah, acara hearing dapat berjalan lancar. *Pelajaran nomor 3 : Data dan dokumentasi yang lengkap dan akurat merupakan modal yang tak ternilai harganya dalam pekerjaan*

Sementara Jumat lalu, saat aku mengikuti rapat yang dihadiri oleh Sekretaris Daerah dan Wakil Walikota aku mendapatkan pelajaran lain lagi. Saat rapat itu, Sekretaris Daerah dan Wakil Walikota sempat berbicara sangat "keras", karena ternyata acara yang sedang dipersiapkan dinilai masih jauh dari siap. Namun sebenarnya 'teguran' itu memang sudah pada tempatnya. *Pelajaran nomor 4 : koordinasi dilakukan lebih intens terutama jika menyangkut orang-orang penting*

Untung saja, di saat pekerjaanku sedang menumpuk seperti ini aku memiliki tim kerja yang solid. Dengan bantuan mereka, maka aku tetap dapat maju terus menyelesaikan semua pekerjaan, bahkan terkadang dalam waktu yang nyaris bersamaan. Bisa kubayangkan, tanpa bantuan dari tim kerjaku, maka aku tak akan sanggup mengerjakan semuanya sendiri. *Pelajaran nomor 5 : kerjasama adalah kunci keberhasilan*

Jadi, meskipun terkadang terasa berat..., tapi aku tetap mencintai pekerjaanku. Bagaimanapun juga aku merasa telah belajar banyak dari pekerjaanku sehingga aku pun semakin berkembang.

(Ini hanyalah catatan seseorang yang sedang menghibur diri di tengah-tengah aktivitas kerja yang semakin padat)

Belajar dan bekerja

Kembali bicara tentang pekerjaan. Saat ini pekerjaanku memang menuntut perhatian yang lebih banyak. Bukan itu saja, bahkan aku juga harus menghabiskan lebih banyak waktuku untuk pekerjaan ini. Bagiku wajar saja jika kemudian aku merasa kelelahan, baik fisik maupun psikis.

Kelelahan ini bukan karena aku tidak menyukai pekerjaan yang sedang aku jalankan. Bisa aku pastikan bahwa aku mencintai pekerjaanku. Namun, kelelahan mentalku terkadang terjadi karena aku tak kuasa membendung segala hal yang saat ini terjadi di luar kendaliku, di luar kuasaku. Memang bukan hal yang buruk sebenarnya, hanya saja aku belum mampu menerima hal itu terjadi.

Suka duka sebagai wanita yang bekerja memang sudah sering aku alami dan rasakan. Semuanya telah membentukku menjadi diriku yang sekarang. Aku merasa, aku telah jauh lebih 'kuat' setelah menjalani aneka macam halangan dan rintangan selama bekerja. Awalnya memang tidak mudah, tapi lama kelamaan aku sudah mulai Percaya Diri dalam menjalani pekerjaanku. *Pelajaran nomor 1 : pekerjaan mampu menumbuhkan rasa percaya diri seseorang*

Pekerjaan yang aku jalani juga memberiku ilmu dan pelajaran yang lain. Selama ini pekerjaanku menuntutku untuk berhubungan dengan banyak orang, dari orang biasa sampai pejabat. Memberikan pelayanan kepada berbagai macam orang, ternyata memang membutuhkan kepekaan tersendiri. Aku belajar agar bisa membuat orang-orang yang dilayani merasa penting dan dihargai. *Pelajaran nomor 2 : setiap orang ingin dihargai dan dianggap penting*

Kamis yang lalu aku bersama pimpinanku melakukan hearing dengan Anggota DPRD. Dalam jangka waktu hampir 2 jam itu, aku harus bisa memberikan jawaban yang memuaskan kepada para anggota dewan tersebut. Untuk itu, aku sudah mempersiapkan sebanyak mungkin bahan-bahan yang sekiranya diperlukan. Alhamdulillah, acara hearing dapat berjalan lancar. *Pelajaran nomor 3 : Data dan dokumentasi yang lengkap dan akurat merupakan modal yang tak ternilai harganya dalam pekerjaan*

Sementara Jumat lalu, saat aku mengikuti rapat yang dihadiri oleh Sekretaris Daerah dan Wakil Walikota aku mendapatkan pelajaran lain lagi. Saat rapat itu, Sekretaris Daerah dan Wakil Walikota sempat berbicara sangat "keras", karena ternyata acara yang sedang dipersiapkan dinilai masih jauh dari siap. Namun sebenarnya 'teguran' itu memang sudah pada tempatnya. *Pelajaran nomor 4 : koordinasi dilakukan lebih intens terutama jika menyangkut orang-orang penting*

Untung saja, di saat pekerjaanku sedang menumpuk seperti ini aku memiliki tim kerja yang solid. Dengan bantuan mereka, maka aku tetap dapat maju terus menyelesaikan semua pekerjaan, bahkan terkadang dalam waktu yang nyaris bersamaan. Bisa kubayangkan, tanpa bantuan dari tim kerjaku, maka aku tak akan sanggup mengerjakan semuanya sendiri. *Pelajaran nomor 5 : kerjasama adalah kunci keberhasilan*

Jadi, meskipun terkadang terasa berat..., tapi aku tetap mencintai pekerjaanku. Bagaimanapun juga aku merasa telah belajar banyak dari pekerjaanku sehingga aku pun semakin berkembang.

(Ini hanyalah catatan seseorang yang sedang menghibur diri di tengah-tengah aktivitas kerja yang semakin padat)

Rabu, 21 Oktober 2009

Jangan Pernah Menyerah

Kemarin seorang teman bercerita kepadaku tentang beban yang dirasakannya kian berat dalam membiayai pendidikan anaknya di Perguruan Tinggi saat ini. Hal tersebut membuatku berpikir, temanku saja yang kulihat kondisinya masih 'lumayan' mengeluh seperti itu. Lantas bagaimana dengan orang lain yang hidupnya hanya pas-pasan saja ? Pasti lebih banyak orang terpaksa memupus impian mereka untuk mampu melihat anak-anaknya menyandang titel sarjana, dan harus cukup puas memberikan pendidikan kepada anak-anaknya sampai taraf pendidikan menengah atas saja.

Memang, harta bukan jaminan untuk mendapatkan pendidikan yang bagus, juga bukan jaminan untuk meraih pendidikan yang tinggi. Justru seringkali anak-anak dari kalangan berada cenderung melewatkan begitu saja kesempatan emas yang didapatkannya dari orang tua untuk bisa menikmati pendidikan dengan mudah. Hal tersebut seringkali terjadi karena mereka sudah terbiasa 'dimanjakan' oleh kemudahan fasilitas sehingga kurang memiliki semangat juang dalam meraih impiannya.

Terkadang, anak-anak dari kalangan yang kurang mampu justru memiliki motivasi yang lebih kuat untuk maju. Kehidupan keras yang mereka laluo seringkali membuat mereka bertekad untuk bisa keluar dari kemiskinan. Hal itu seringkali mampu menjadi mesin penggerak untuk maju yang sangat ampuh. Apalagi, mereka sudah sangat mengenal dengan istilah kerja keras..., sehingga sangat mudah bagi mereka untuk melakukannya.

Aku jadi teringat dengan email yang aku terima dari sahabatku beberapa saat yang lalu. Katanya, dia mendapatkan email itu dari temannya juga, yang langsung diforwardkan kepadaku. Semoga email ini dapat memberikan manfaat bagi sahabat-sahabat yang lain.
Tersebutlah seorang ayah yang memiliki 4 orang anak yang memiliki profesi sebagai kuli bangunan. Sehari-hari pekerjaan tidak jauh dari tembok basah yang kotor ditengah terik matahari. Namun itulah yang dijalani sebab belum ada cara lain untuk menafkahi istri dan keempat anaknya. Niatnya tentu ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, tetapi bagaimana bisa dengan pendidikan yang hanya sekolah dasar hanya bisa untuk pekerjaan kasar.

Suatu waktu ada pekerjaan membangun sebuah rumah yang dekat dengan SMA. Tentu saja anak-anak sekolah sering kali terlihat saat masuk kelas, keluar kelas, atau kegiatan di luar kelas seperti bermain bola basket. Sang Ayah sering mengamati anak-anak sekolah tersebut sehingga munculah pertanyaan di dalam hatinya, “apakah anak-anaku bisa sekolah seperti mereka?”

Pertanyaan tersebut terus diingat. Setiap langkahnya selalu diiringi oleh pertanyaan tersebut, bisakah anak-anaku sekolah tinggi? Bisakah mereka sekolah lebih tinggi dariku? Bisakah mereka memiliki kehidupan yang lebih baik dariku? Saking mendalamnya, dalam setiap perbincangan pun sering kali cita-cita mulia ini tercetus ke dalam mulutnya.

Seperti biasa, komentar positif dan negatif muncul. Ada yang mendukung ada juga yang pesimis. Bukannya mendukung malah mematahkan motivasi sang ayah.

“Jangan memaksakan diri, terima aja apa adanya”.
“Kenapa harus susah payah? Dengan pendidikan seperti ini pun kita masih bisa hidup?” kata salah seorang saudaranya yang sama-sama seorang kuli bangunan dan juga berpendidikan lebih rendah.

Namun sang Ayah memiliki tekad yang kuat. Biarlah banyak orang yang mengatakan sesuatu tidak mungkin, sebab yang menentukan ialah Allah. Jika Allah menghendaki, maka segala sesuatu akan terjadi, tidak ada yang tidak mungkin. “Laa haula wa la quwwata illa billah” inilah kalimat yang selalu menjadi pegangan dalam upayanya meraih cita-citanya.

Waktu pun dilalui dengan kerja keras, tidak pernah menyerah, dan berserah diri kepada Allah saat menemui kesulitan. Alhamdulillah karirnya di dunia bangunan ada peningkatan. Mungkin, naiknya karir ini akibat memiliki motivasi yang sangat tinggi sehingga bekerja dengan penuh dedikasi. Dari mulai seorang helper, kemudian menjadi tukang (ahli), dan akhirnya menjadi seorang mandor dan pemborong. Saat itu anak terbesar sudah menginjak bangku SMA.

Namun Allah menghendaki hal yang lain, manajemen tempatnya bekerjanya mengalami rotasi kepemimpinan. Pemimpin yang baru mengeluarkan berbagai kebijakan yang sangat menekan bawahannya sehingga akhirnya sang Ayah mengundurkan diri. Beralih membangun sebuah bisnis yang tidak bertahan lama sebab ditipu oleh mitra kerjanya. Kehidupan pun kembali sulit, padahal saat itu anak-anaknya sudah menginjak bangku kuliah.

Namun sulitnya hidup tetap dijalani dengan tetap bekerja keras dan banyak berdoa. Tahajudnya rajin sekali. Waktu malam sering kali dihabiskan oleh berdzikir dan berdoa. Waktu siang, tetap bekerja keras ditengah tenaga yang mulai berkurang serta kesehatan yang mulai terganggu. Namun semuanya dijalani dengan teguh dan tetap memegang kalimat “Laa haula wa la quwwata illa billah”. Semuanya tidak sia-sia. Cita-citanya tercapai. Semua anaknya mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan tiga dari empat anaknya mengenyam bangku kuliah.

Meski sang ayah saat kini sudah tiada, tetapi meninggalkan sebuah warisan yang tidak akan pernah habis bagi anak-anaknya. Bukan harta, sebab hartanya habis untuk menyekolahkan anak-anaknya tetapi sebuah pelajaran akan keteguhan dalam meraih cita-cita.

Jangan pernah menyerah!
Berkaca dari pengalaman sang bapak tadi.., semoga kita pun mampu memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita. Karena ilmu yang kita wariskan kepada mereka tak akan pernah hilang dan akan tetap memberikan manfaat sepanjang hidupnya.

Gambar diambil dari sini.

Jangan Pernah Menyerah

Kemarin seorang teman bercerita kepadaku tentang beban yang dirasakannya kian berat dalam membiayai pendidikan anaknya di Perguruan Tinggi saat ini. Hal tersebut membuatku berpikir, temanku saja yang kulihat kondisinya masih 'lumayan' mengeluh seperti itu. Lantas bagaimana dengan orang lain yang hidupnya hanya pas-pasan saja ? Pasti lebih banyak orang terpaksa memupus impian mereka untuk mampu melihat anak-anaknya menyandang titel sarjana, dan harus cukup puas memberikan pendidikan kepada anak-anaknya sampai taraf pendidikan menengah atas saja.

Memang, harta bukan jaminan untuk mendapatkan pendidikan yang bagus, juga bukan jaminan untuk meraih pendidikan yang tinggi. Justru seringkali anak-anak dari kalangan berada cenderung melewatkan begitu saja kesempatan emas yang didapatkannya dari orang tua untuk bisa menikmati pendidikan dengan mudah. Hal tersebut seringkali terjadi karena mereka sudah terbiasa 'dimanjakan' oleh kemudahan fasilitas sehingga kurang memiliki semangat juang dalam meraih impiannya.

Terkadang, anak-anak dari kalangan yang kurang mampu justru memiliki motivasi yang lebih kuat untuk maju. Kehidupan keras yang mereka laluo seringkali membuat mereka bertekad untuk bisa keluar dari kemiskinan. Hal itu seringkali mampu menjadi mesin penggerak untuk maju yang sangat ampuh. Apalagi, mereka sudah sangat mengenal dengan istilah kerja keras..., sehingga sangat mudah bagi mereka untuk melakukannya.

Aku jadi teringat dengan email yang aku terima dari sahabatku beberapa saat yang lalu. Katanya, dia mendapatkan email itu dari temannya juga, yang langsung diforwardkan kepadaku. Semoga email ini dapat memberikan manfaat bagi sahabat-sahabat yang lain.
Tersebutlah seorang ayah yang memiliki 4 orang anak yang memiliki profesi sebagai kuli bangunan. Sehari-hari pekerjaan tidak jauh dari tembok basah yang kotor ditengah terik matahari. Namun itulah yang dijalani sebab belum ada cara lain untuk menafkahi istri dan keempat anaknya. Niatnya tentu ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, tetapi bagaimana bisa dengan pendidikan yang hanya sekolah dasar hanya bisa untuk pekerjaan kasar.

Suatu waktu ada pekerjaan membangun sebuah rumah yang dekat dengan SMA. Tentu saja anak-anak sekolah sering kali terlihat saat masuk kelas, keluar kelas, atau kegiatan di luar kelas seperti bermain bola basket. Sang Ayah sering mengamati anak-anak sekolah tersebut sehingga munculah pertanyaan di dalam hatinya, “apakah anak-anaku bisa sekolah seperti mereka?”

Pertanyaan tersebut terus diingat. Setiap langkahnya selalu diiringi oleh pertanyaan tersebut, bisakah anak-anaku sekolah tinggi? Bisakah mereka sekolah lebih tinggi dariku? Bisakah mereka memiliki kehidupan yang lebih baik dariku? Saking mendalamnya, dalam setiap perbincangan pun sering kali cita-cita mulia ini tercetus ke dalam mulutnya.

Seperti biasa, komentar positif dan negatif muncul. Ada yang mendukung ada juga yang pesimis. Bukannya mendukung malah mematahkan motivasi sang ayah.

“Jangan memaksakan diri, terima aja apa adanya”.
“Kenapa harus susah payah? Dengan pendidikan seperti ini pun kita masih bisa hidup?” kata salah seorang saudaranya yang sama-sama seorang kuli bangunan dan juga berpendidikan lebih rendah.

Namun sang Ayah memiliki tekad yang kuat. Biarlah banyak orang yang mengatakan sesuatu tidak mungkin, sebab yang menentukan ialah Allah. Jika Allah menghendaki, maka segala sesuatu akan terjadi, tidak ada yang tidak mungkin. “Laa haula wa la quwwata illa billah” inilah kalimat yang selalu menjadi pegangan dalam upayanya meraih cita-citanya.

Waktu pun dilalui dengan kerja keras, tidak pernah menyerah, dan berserah diri kepada Allah saat menemui kesulitan. Alhamdulillah karirnya di dunia bangunan ada peningkatan. Mungkin, naiknya karir ini akibat memiliki motivasi yang sangat tinggi sehingga bekerja dengan penuh dedikasi. Dari mulai seorang helper, kemudian menjadi tukang (ahli), dan akhirnya menjadi seorang mandor dan pemborong. Saat itu anak terbesar sudah menginjak bangku SMA.

Namun Allah menghendaki hal yang lain, manajemen tempatnya bekerjanya mengalami rotasi kepemimpinan. Pemimpin yang baru mengeluarkan berbagai kebijakan yang sangat menekan bawahannya sehingga akhirnya sang Ayah mengundurkan diri. Beralih membangun sebuah bisnis yang tidak bertahan lama sebab ditipu oleh mitra kerjanya. Kehidupan pun kembali sulit, padahal saat itu anak-anaknya sudah menginjak bangku kuliah.

Namun sulitnya hidup tetap dijalani dengan tetap bekerja keras dan banyak berdoa. Tahajudnya rajin sekali. Waktu malam sering kali dihabiskan oleh berdzikir dan berdoa. Waktu siang, tetap bekerja keras ditengah tenaga yang mulai berkurang serta kesehatan yang mulai terganggu. Namun semuanya dijalani dengan teguh dan tetap memegang kalimat “Laa haula wa la quwwata illa billah”. Semuanya tidak sia-sia. Cita-citanya tercapai. Semua anaknya mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan tiga dari empat anaknya mengenyam bangku kuliah.

Meski sang ayah saat kini sudah tiada, tetapi meninggalkan sebuah warisan yang tidak akan pernah habis bagi anak-anaknya. Bukan harta, sebab hartanya habis untuk menyekolahkan anak-anaknya tetapi sebuah pelajaran akan keteguhan dalam meraih cita-cita.

Jangan pernah menyerah!
Berkaca dari pengalaman sang bapak tadi.., semoga kita pun mampu memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita. Karena ilmu yang kita wariskan kepada mereka tak akan pernah hilang dan akan tetap memberikan manfaat sepanjang hidupnya.

Gambar diambil dari sini.

Senin, 19 Oktober 2009

Mati gaya...?!

Sabtu dan Minggu kemarin, internetku benar-benar mati suri. Akibatnya, nyaris selama 2 hari aku pun ikutan mati gaya... hehehe (lebay dot com). Bagaimana tidak, aku tak bisa blogging, blog walking maupun menengok facebook-ku. Rasanya benar-benar terputus dengan dunia luar saja.... Benar-benar mati gaya... ^_^

Untuk mengisi hari libur itu, maka aku membuat alternatif kegiatan. Setelah acara bersih-bersih rumah dan mencuci (agenda wajib hari libur bagi wanita yang bekerja sepertiku), aku memutuskan untuk membuat salad buah. Sebenarnya, Shasa sudah lama ingin aku buatkan salad buah. Kebetulan juga, mulai Senin ini Shasa harus menjalani mid test di sekolahnya. Akhirnya, selama 2 hari itu.., aku puas-puaskan membuat salad buah yang banyak untuknya... dan Shasa pun bisa makan sampai puas.

Salad buah yang cocok dalam cuaca yang panas spt saat ini

Rasa salad buah yang manis, asem dan seger benar-benar menjadi santapan yang sangat nikmat dalam cuaca yang sangat panas seperti sekarang ini. Sehingga, seberapa banyaknya aku membuatnya, tak membutuhkan waktu lama akan segera habis. Aku sampai heran, doyan apa lapar sih ya..., kok sebanyak itu bisa habis dengan segera ?! Tapi, tentu saja senang sih kalau apa yang kita sediakan disambut dengan suka cita seperti itu. Bener kan..?

Acara masak memasak semakin seru karena Shasa juga ingin belajar memasak. Akhirnya, kami buat masakan sederhana untuk Shasa, yaitu sayur bening (bayam) dan bacem tahu tempe. Shasa semangat banget belajar memasaknya. Seperti inilah gaya Shasa saat belajar memasak.



Shasa yang sedang serius belajar memasak

Selain acara masak memasak dan bersih-bersih rumah itu selesai, aku mulai cari-cari kegiatan lain. Untuk baca buku aku masih malas, karena badan masih terasa capek oleh banyaknya aktivitas di kantor belakangan ini. Akhirnya, pilihanku jatuh pada... maen game...! Setelah sekian lama tidak maen game di komputer, ternyata asyik juga bisa refreshing dengan maen game lagi... hehehe. Benar-benar bisa menghapus perasaan mati gaya yang sempat melanda.

Internet-ku akhirnya bisa hidup lagi pada hari Minggu malam, hampir jam 22.00. Selarut itu, aku sudah malas untuk memulai blogging maupun blog walking. Jadi, aku hanya menuliskan pesan di sapa-ku yang ada di Blogku dan mengintip facebook sebentar saja. Rencananya, blogging dan blog walking baru akan aku laksanakan malam ini. Duh senengnya... tidak mati gaya lagi sekarang hehehe......

Mati gaya...?!

Sabtu dan Minggu kemarin, internetku benar-benar mati suri. Akibatnya, nyaris selama 2 hari aku pun ikutan mati gaya... hehehe (lebay dot com). Bagaimana tidak, aku tak bisa blogging, blog walking maupun menengok facebook-ku. Rasanya benar-benar terputus dengan dunia luar saja.... Benar-benar mati gaya... ^_^

Untuk mengisi hari libur itu, maka aku membuat alternatif kegiatan. Setelah acara bersih-bersih rumah dan mencuci (agenda wajib hari libur bagi wanita yang bekerja sepertiku), aku memutuskan untuk membuat salad buah. Sebenarnya, Shasa sudah lama ingin aku buatkan salad buah. Kebetulan juga, mulai Senin ini Shasa harus menjalani mid test di sekolahnya. Akhirnya, selama 2 hari itu.., aku puas-puaskan membuat salad buah yang banyak untuknya... dan Shasa pun bisa makan sampai puas.

Salad buah yang cocok dalam cuaca yang panas spt saat ini

Rasa salad buah yang manis, asem dan seger benar-benar menjadi santapan yang sangat nikmat dalam cuaca yang sangat panas seperti sekarang ini. Sehingga, seberapa banyaknya aku membuatnya, tak membutuhkan waktu lama akan segera habis. Aku sampai heran, doyan apa lapar sih ya..., kok sebanyak itu bisa habis dengan segera ?! Tapi, tentu saja senang sih kalau apa yang kita sediakan disambut dengan suka cita seperti itu. Bener kan..?

Acara masak memasak semakin seru karena Shasa juga ingin belajar memasak. Akhirnya, kami buat masakan sederhana untuk Shasa, yaitu sayur bening (bayam) dan bacem tahu tempe. Shasa semangat banget belajar memasaknya. Seperti inilah gaya Shasa saat belajar memasak.



Shasa yang sedang serius belajar memasak

Selain acara masak memasak dan bersih-bersih rumah itu selesai, aku mulai cari-cari kegiatan lain. Untuk baca buku aku masih malas, karena badan masih terasa capek oleh banyaknya aktivitas di kantor belakangan ini. Akhirnya, pilihanku jatuh pada... maen game...! Setelah sekian lama tidak maen game di komputer, ternyata asyik juga bisa refreshing dengan maen game lagi... hehehe. Benar-benar bisa menghapus perasaan mati gaya yang sempat melanda.

Internet-ku akhirnya bisa hidup lagi pada hari Minggu malam, hampir jam 22.00. Selarut itu, aku sudah malas untuk memulai blogging maupun blog walking. Jadi, aku hanya menuliskan pesan di sapa-ku yang ada di Blogku dan mengintip facebook sebentar saja. Rencananya, blogging dan blog walking baru akan aku laksanakan malam ini. Duh senengnya... tidak mati gaya lagi sekarang hehehe......

Sabtu, 17 Oktober 2009

Tanggung jawab

Albert Einstein pernah berkata bahwa "harga sebuah kebesaran ada di tanggung jawab".
Tanggung jawab sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Bila seseorang tidak mau bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang akan memaksakan tanggung jawab itu.

Yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah kesadaran manusia tentang tingkah laku atau perbuatannya baik yang disengaja ataupun tidak disengaja. Seseorang mau bertanggung jawab karena ada kesadaran atau keinsyafan atau pengertian atas segala perbuatan dan akibatnya terhadap kepentingan pihak lain. Tanggung jawab ini muncul karena manusia hidup bermasyarakat dan hidup dalam lingkungan alam.

Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab merupakan ciri dari manusia beradab. Seorang manusia akan merasa bertanggung jawab jika dia dapat menyadari akibat dari perbuatannya dan menyadari bahwa ada pihak-pihak lain yang juga menerima dampak dari perbuatannya tersebut. Oleh sebab itu, bagi sebagian besar orang, tanggung jawab merupakan sesuatu yang mungkin dirasakan berat yang tak semua orang mampu dan mau memikulnya.

Biasanya, seseorang akan dengan senang hati menerima sesuatu yang menyenangkan atau menguntungkan baginya. Tetapi jika ternyata hal tersebut menuntut tanggung jawab, biasanya banyak orang yang memilih untuk melarikan diri dari tanggung jawab setelah menerima hal yang menguntungkannya terlebih dahulu. Banyak contoh yang menunjukkan hal tersebut di lingkungan kita, salah satunya "jabatan".

Hampir semua orang dengan senang hati jika mendapatan jabatan, apalagi jika jabatan itu adalah duduk di "kursi empuk". Naik jabatan selalu berkonotasi dengan kenaikan gaji, dan semua orang tentu dengan suka cita menerimanya. Namun..., ternyata tak semua orang sanggup menerima konsekuensi dari meningkatnya tanggung jawab seiring dengan meningkatnya jabatannya.

Sebuah kejadian telah membuatku menyadari betapa tak mudah memikul sebuah tanggung jawab. Kebetulan hari Kamis dan Jumat kemarin aku harus dinas lagi ke Surabaya. Seperti sebelumnya, aku berangkat lagi bersama tim yang jumlahnya 10 orang, dengan menggunakan 2 kendaraan dinas. Tim kami yang semuanya masih tergolong muda (ehm... termasuk aku nih hehehe), semuanya masih memiliki semangat yang kuat untuk menjalankan tugas dengan sebaik mungkin.

Sesaat sebelum berangkat, seorang teman (seorang pejabat dari Bagian Hukum) meneleponku dan mengatakan bahwa dia baru saja pulang dari dokter. Aku menanyakan padanya apakah dia jadi ikut pergi ke Surabaya, mengingat kondisinya sedang tidak sehat. Namun dia meyakinkan aku bahwa dia akan baik-baik saja dan siap untuk menjalankan tugas ke Surabaya bersamaku.

Selama perjalanan dia tidak terlalu bersemangat dan lebih banyak diam. Sewaktu kutanyakan apa diagnosa dokter terhadapnya saat dia periksa sebelum berangkat, dia menjawab bahwa dicurigai dia akan terkena cacar air, tapi dokter belum berani memastikan karena memang belum ada tanda-tanda cacar yang muncul.

Selama di Surabaya, dia masih bisa menjalankan tugasnya dengan sangat baik dan berusaha untuk tidak memperdulikan kondisinya. Aku sudah berulang kali menawarkan kepadanya supaya sopir kami berangkat mencarikan obat untuknya atau mengantarnya ke dokter, tapi dia menolaknya. Dia berusaha bertahan untuk bisa menyelesaikan tugasnya.

Sampai akhirnya, pada malam hari, sesaat sebelum makan malam, teman sekamarnya (kami bersepuluh menginap di hotel) mengatakan bahwa kami perlu untuk memanggil dokter. Ternyata demam yang dialami temanku itu semakin tinggi, sehingga akhirnya dia pasrah saat kami memanggilkan dokter untuknya. Namun, setelah diperiksa pun dia tak mau diantar pulang kembali ke Madiun dan ngotot bertahan di Surabaya sampai acara selesai pada hari Jumat.

Sekuat apa pun dia bertahan, akhirnya dia harus menyerah pada kondisi fisiknya yang semakin menurun. Ternyata, diagnosa dokter adalah dia terkena cacar air sekaligus radang tenggorokan..!! Malam itu juga, satu kendaraan dinas kami pulang terlebih dahulu untuk mengantarkan teman kami yang sakit tadi. Terpaksa, dia pulang sendiri dan hanya ditemani seorang sopir, karena kami semua masih punya tanggung jawab pekerjaan yang harus kami selesaikan di Surabaya.

Tanggung jawab yang demikian besar telah ditunjukkannya kepadaku dan kepada teman-teman yang lain. Kalaupun akhirnya dia menyerah, itu semata karena kondisi fisiknya yang tak dapat diajak kompromi dan mengharuskannya untuk beristirahat. Aku jadi membandingkannya dengan kondisi diriku sendiri. Meskipun aku masih pakai 'decker' pada kakiku yang keseleo, tapi sejujurnya tinggal rasa pegal-pegal yang aku rasakan. Aku tak yakin bisa bertahan seperti dia, jika aku yang berada dalam posisinya.

Selama ini aku sering mendengar bahwa anak-anak muda 'jaman sekarang' kurang memiliki rasa tanggung jawab. Pada kesempatan ini aku dapat berkata bahwa itu tidak benar, karena masih banyak anak muda yang bisa memikul tanggung jawab. Jadi, tak sepantasnya karena ada "nila setitik rusak susu sebelanga". Menurutku begitu...

Tanggung jawab

Albert Einstein pernah berkata bahwa "harga sebuah kebesaran ada di tanggung jawab".
Tanggung jawab sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Bila seseorang tidak mau bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang akan memaksakan tanggung jawab itu.

Yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah kesadaran manusia tentang tingkah laku atau perbuatannya baik yang disengaja ataupun tidak disengaja. Seseorang mau bertanggung jawab karena ada kesadaran atau keinsyafan atau pengertian atas segala perbuatan dan akibatnya terhadap kepentingan pihak lain. Tanggung jawab ini muncul karena manusia hidup bermasyarakat dan hidup dalam lingkungan alam.

Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab merupakan ciri dari manusia beradab. Seorang manusia akan merasa bertanggung jawab jika dia dapat menyadari akibat dari perbuatannya dan menyadari bahwa ada pihak-pihak lain yang juga menerima dampak dari perbuatannya tersebut. Oleh sebab itu, bagi sebagian besar orang, tanggung jawab merupakan sesuatu yang mungkin dirasakan berat yang tak semua orang mampu dan mau memikulnya.

Biasanya, seseorang akan dengan senang hati menerima sesuatu yang menyenangkan atau menguntungkan baginya. Tetapi jika ternyata hal tersebut menuntut tanggung jawab, biasanya banyak orang yang memilih untuk melarikan diri dari tanggung jawab setelah menerima hal yang menguntungkannya terlebih dahulu. Banyak contoh yang menunjukkan hal tersebut di lingkungan kita, salah satunya "jabatan".

Hampir semua orang dengan senang hati jika mendapatan jabatan, apalagi jika jabatan itu adalah duduk di "kursi empuk". Naik jabatan selalu berkonotasi dengan kenaikan gaji, dan semua orang tentu dengan suka cita menerimanya. Namun..., ternyata tak semua orang sanggup menerima konsekuensi dari meningkatnya tanggung jawab seiring dengan meningkatnya jabatannya.

Sebuah kejadian telah membuatku menyadari betapa tak mudah memikul sebuah tanggung jawab. Kebetulan hari Kamis dan Jumat kemarin aku harus dinas lagi ke Surabaya. Seperti sebelumnya, aku berangkat lagi bersama tim yang jumlahnya 10 orang, dengan menggunakan 2 kendaraan dinas. Tim kami yang semuanya masih tergolong muda (ehm... termasuk aku nih hehehe), semuanya masih memiliki semangat yang kuat untuk menjalankan tugas dengan sebaik mungkin.

Sesaat sebelum berangkat, seorang teman (seorang pejabat dari Bagian Hukum) meneleponku dan mengatakan bahwa dia baru saja pulang dari dokter. Aku menanyakan padanya apakah dia jadi ikut pergi ke Surabaya, mengingat kondisinya sedang tidak sehat. Namun dia meyakinkan aku bahwa dia akan baik-baik saja dan siap untuk menjalankan tugas ke Surabaya bersamaku.

Selama perjalanan dia tidak terlalu bersemangat dan lebih banyak diam. Sewaktu kutanyakan apa diagnosa dokter terhadapnya saat dia periksa sebelum berangkat, dia menjawab bahwa dicurigai dia akan terkena cacar air, tapi dokter belum berani memastikan karena memang belum ada tanda-tanda cacar yang muncul.

Selama di Surabaya, dia masih bisa menjalankan tugasnya dengan sangat baik dan berusaha untuk tidak memperdulikan kondisinya. Aku sudah berulang kali menawarkan kepadanya supaya sopir kami berangkat mencarikan obat untuknya atau mengantarnya ke dokter, tapi dia menolaknya. Dia berusaha bertahan untuk bisa menyelesaikan tugasnya.

Sampai akhirnya, pada malam hari, sesaat sebelum makan malam, teman sekamarnya (kami bersepuluh menginap di hotel) mengatakan bahwa kami perlu untuk memanggil dokter. Ternyata demam yang dialami temanku itu semakin tinggi, sehingga akhirnya dia pasrah saat kami memanggilkan dokter untuknya. Namun, setelah diperiksa pun dia tak mau diantar pulang kembali ke Madiun dan ngotot bertahan di Surabaya sampai acara selesai pada hari Jumat.

Sekuat apa pun dia bertahan, akhirnya dia harus menyerah pada kondisi fisiknya yang semakin menurun. Ternyata, diagnosa dokter adalah dia terkena cacar air sekaligus radang tenggorokan..!! Malam itu juga, satu kendaraan dinas kami pulang terlebih dahulu untuk mengantarkan teman kami yang sakit tadi. Terpaksa, dia pulang sendiri dan hanya ditemani seorang sopir, karena kami semua masih punya tanggung jawab pekerjaan yang harus kami selesaikan di Surabaya.

Tanggung jawab yang demikian besar telah ditunjukkannya kepadaku dan kepada teman-teman yang lain. Kalaupun akhirnya dia menyerah, itu semata karena kondisi fisiknya yang tak dapat diajak kompromi dan mengharuskannya untuk beristirahat. Aku jadi membandingkannya dengan kondisi diriku sendiri. Meskipun aku masih pakai 'decker' pada kakiku yang keseleo, tapi sejujurnya tinggal rasa pegal-pegal yang aku rasakan. Aku tak yakin bisa bertahan seperti dia, jika aku yang berada dalam posisinya.

Selama ini aku sering mendengar bahwa anak-anak muda 'jaman sekarang' kurang memiliki rasa tanggung jawab. Pada kesempatan ini aku dapat berkata bahwa itu tidak benar, karena masih banyak anak muda yang bisa memikul tanggung jawab. Jadi, tak sepantasnya karena ada "nila setitik rusak susu sebelanga". Menurutku begitu...

Jumat, 16 Oktober 2009

I love you full......


Aku sangat menyayanginya, sungguh sangat sayang padanya
Bahkan dengan hanya melihat senyumnya
Hatiku terasa hangat dan berbunga-bunga
Atau saat ku tatap fotonya
Masih terasa debar-debar di dada


Aku sungguh mencintainya, amat sangat
Aku ingin hanya ada aku dalam hidupnya
Tak ingin aku berbagi dengan yang lain
Tak sanggup jika perhatiannya teralih dariku
Meskipun hanya sesaat saja

Rasa cinta yang terkadang membelenggu
Karena seringkali disertai rasa cemburu
Meskipun aku tahu bahwa
Tak selayaknya cinta berubah menjadi sangkar
Yang harus memenjarakan kemerdekaan

Rasa cinta yang terkadang terasa aneh
Karena kutahu dia tidaklah istimewa
Dia juga bukan orang yang begitu hebatnya
Dia hanya.... manusia biasa
Dengan segala kelemahannya
Dan juga kelebihannya
Namun mengapa aku sedemikian jatuh cinta..?

Rasa cinta yang terlahir dari besarnya kasih
Rasa cinta yang muncul dari rasa peduli
Rasa cinta yang tumbuh dalam kebersamaan
Rasa cinta yang mekar melalui pengorbanan
Rasa cinta yang kokoh dalam kesetiaan
Rasa cinta yang bahkan hadir setelah perselisihan
Rasa cinta yang menguat karena terbelenggu rindu
Rasa cinta yang masih ada saat terseret kecewa
Rasa cinta yang mengakar dalam derasnya perbedaan


Terima kasih untuk suamiku, yang rasa cintanya masih aku rasakan sampai sekarang. Yang membuatku hingga kini sulit untuk berpaling, dan membelengguku dengan rasa memiliki yang kuat. Meskipun kebersamaan kita sudah kita lalui sekian lama, dalam suka duka, dalam canda dan duka, dalam damai dan perdebatan... namun kita tetap dapat bersama, hingga detik ini dan semoga sampai akhir nanti. Amin.....


Untuk suamiku yang selalu membuatku berdebar-debar (meski hanya dengan memandangnya), dalam hari yang spesial ini aku ucapkan Selamat Ulang Tahun...!! Tetaplah menjadi cahaya dalam hidupku, penguat dalam risauku, penyemangat dalam langkahku, penenang dalam gejolakku dan pemenang dari cintaku..!!


Semoga dapat menjadi iman dan panutan, khususnya bagiku dan Shasa. Semoga dengan berjalannya waktu, kedewasaanmu bisa semakin membawa kami dalam ketenangan dan keteduhan. Semoga rasa cinta bisa membuatmu lebih bersemangat dalam berkarya dan meraih impianmu.


Suamiku, pada hari ini aku terpaksa berdinas di luar kota, sehingga aku sengaja menyiapkan ini pada hari Rabu malam, sehari sebelum aku berangkat ke Surabaya. Aku ingin, meskipun pada hari ini aku tak ada di sisimu, aku tetap bisa memberikan suatu kenangan untukmu. Maafkan aku, jika hari ini aku tak bisa menemanimu dan akhir-akhir ini aku sering pergi dinas ke luar kota. Bagaimanapun juga, terima kasih tak terhingga atas dukunganmu selama ini. I love you full.........

I love you full......


Aku sangat menyayanginya, sungguh sangat sayang padanya
Bahkan dengan hanya melihat senyumnya
Hatiku terasa hangat dan berbunga-bunga
Atau saat ku tatap fotonya
Masih terasa debar-debar di dada


Aku sungguh mencintainya, amat sangat
Aku ingin hanya ada aku dalam hidupnya
Tak ingin aku berbagi dengan yang lain
Tak sanggup jika perhatiannya teralih dariku
Meskipun hanya sesaat saja

Rasa cinta yang terkadang membelenggu
Karena seringkali disertai rasa cemburu
Meskipun aku tahu bahwa
Tak selayaknya cinta berubah menjadi sangkar
Yang harus memenjarakan kemerdekaan

Rasa cinta yang terkadang terasa aneh
Karena kutahu dia tidaklah istimewa
Dia juga bukan orang yang begitu hebatnya
Dia hanya.... manusia biasa
Dengan segala kelemahannya
Dan juga kelebihannya
Namun mengapa aku sedemikian jatuh cinta..?

Rasa cinta yang terlahir dari besarnya kasih
Rasa cinta yang muncul dari rasa peduli
Rasa cinta yang tumbuh dalam kebersamaan
Rasa cinta yang mekar melalui pengorbanan
Rasa cinta yang kokoh dalam kesetiaan
Rasa cinta yang bahkan hadir setelah perselisihan
Rasa cinta yang menguat karena terbelenggu rindu
Rasa cinta yang masih ada saat terseret kecewa
Rasa cinta yang mengakar dalam derasnya perbedaan


Terima kasih untuk suamiku, yang rasa cintanya masih aku rasakan sampai sekarang. Yang membuatku hingga kini sulit untuk berpaling, dan membelengguku dengan rasa memiliki yang kuat. Meskipun kebersamaan kita sudah kita lalui sekian lama, dalam suka duka, dalam canda dan duka, dalam damai dan perdebatan... namun kita tetap dapat bersama, hingga detik ini dan semoga sampai akhir nanti. Amin.....


Untuk suamiku yang selalu membuatku berdebar-debar (meski hanya dengan memandangnya), dalam hari yang spesial ini aku ucapkan Selamat Ulang Tahun...!! Tetaplah menjadi cahaya dalam hidupku, penguat dalam risauku, penyemangat dalam langkahku, penenang dalam gejolakku dan pemenang dari cintaku..!!


Semoga dapat menjadi iman dan panutan, khususnya bagiku dan Shasa. Semoga dengan berjalannya waktu, kedewasaanmu bisa semakin membawa kami dalam ketenangan dan keteduhan. Semoga rasa cinta bisa membuatmu lebih bersemangat dalam berkarya dan meraih impianmu.


Suamiku, pada hari ini aku terpaksa berdinas di luar kota, sehingga aku sengaja menyiapkan ini pada hari Rabu malam, sehari sebelum aku berangkat ke Surabaya. Aku ingin, meskipun pada hari ini aku tak ada di sisimu, aku tetap bisa memberikan suatu kenangan untukmu. Maafkan aku, jika hari ini aku tak bisa menemanimu dan akhir-akhir ini aku sering pergi dinas ke luar kota. Bagaimanapun juga, terima kasih tak terhingga atas dukunganmu selama ini. I love you full.........

Kamis, 15 Oktober 2009

Mengelola rasa marah

Postingan ini aku siapkan untuk mengisi 'kekosongan' selama aku menjalankan dinas ke luar kota pada tanggal 15 dan 16 Oktober 2009. Sengaja aku mempersiapkan postingan ini agar teman-teman yang sudah mampir kesini tidak 'kecela' karena aku belum update. Namun, karena keterbatasan waktu, maka aku tak sempat menulis sendiri, namun aku hanya copy paste sebuah artikel yang sangat bagus, menurutku. Semoga bagus juga menurut teman-teman yang lain dan semoga bermanfaat bagi sahabat-sahabat yang lain.

Hanya seorang yang pemarah yang bisa betul-betul bersabar. Seseorang yang tidak bisa merasa marah tidak bisa disebut penyabar, karena dia hanya tidak bisa marah. Sedang seorang lagi yang sebetulnya merasa marah, tetapi mengelola kemarahannya untuk tetap berlaku baik dan adil adalah seorang yang berhasil menjadikan dirinya bersabar. Dan bila Anda mengatakan bahwa untuk bersabar itu-sulit, Anda sangat tepat karena kesabaran kita diukur dari kekuatan kita untuk tetap mendahulukan yang benar dalam perasaan yang membuat kita seolah-olah berhak untuk berlaku melampaui batas. Kesabaran bukanlah sebuah sifat, tetapi sebuah akibat.

Perhatikanlah bahwa kita lebih sering menderita karena kemarahan kita, daripada karena hal-hal yang membuat kita merasa marah. Perhatikanlah juga bahwa kemarahan kita sering melambung lebih tinggi daripada nilai dari sesuatu yang menyebabkan kemarahan kita itu, sehingga kita sering bereaksi berlebihan dalam kemarahan.

Hanya karena Anda menyadari dengan baik –tentang kerugian yang bisa disebabkan oleh reaksi Anda dalam kemarahan, Anda bisa menjadi berhati-hati dalam bereaksi terhadap apa pun yang membuat Anda merasa marah. Kehati-hatian dalam bereaksi terhadap yang membuat Anda marah itu lah yang menjadikan Anda tampil sabar.

Kemarahan adalah sebuah bentuk nafsu. Nafsu adalah kekuatan yang tidak pernah netral, karena ia hanya mempunyai dua arah gerak, yaitu bila ia tidak memuliakan, pasti ia menghinakan.

Nafsu juga bersifat dinamis, karena ia menolak untuk berlaku tenang bila Anda merasa tenang. Ia akan selalu memperbarui kekuatannya untuk membuat Anda memperbaruhi kemapanan Anda.

Maka perhatikanlah ini dengan cermat, bila Anda berpikir dengan jernih dalam memilih tindakan dan cara bertindak dalam kemarahan, nafsu itu akan menjadi kekuatan Anda untuk meninggalkan kemapanan Anda yang sekarang untuk menuju sebuah kemapanan baru yang lebih tinggi.Tetapi, bila Anda berlaku sebaliknya, maka ke bawahlah arah pembaruan dari kemapanan Anda.

Itu sebabnya, kita sering menyaksikan seorang berkedudukan tinggi yang terlontarkan dari tingkat kemapanannya, dan kemudian direndahkan karena dia tidak berpikir jernih dalam kemarahan. Dan bila nafsunya telah menjadikannya seorang yang tidak bisa direndahkan lagi, dia disebut sebagai budak nafsu.

Kualitas reaksi Anda terhadap yang membuat Anda marah, adalah penentu kelas Anda. Kebijakan para pendahulu kita telah menggariskan bahwa untuk menjadi marah itu mudah, dan patut bagi semua orang. Tetapi, untuk bisa marah kepada orang yang tepat, karena sebab yang tepat, untuk tujuan yang tepat, pada tingkat kemarahan yang tepat, dan dengan cara yang tepat -itu tidak untuk orang-orang kecil.

Maka seberapa besar-kah Anda menginginkan diri Anda jadinya? Memang pernah ada orang yang mengatakan bahwa siapa pun yang membuat Anda marah telah mengalahkan Anda. Pengamatan itu tepat hanya bila Anda mengijinkan diri Anda berlaku dengan cara-cara yang merendahkan diri Anda sendiri karena kemarahan yang disebabkan oleh orang itu.

Itu sebabnya, salah satu cara untuk membesarkan diri adalah menghindari sikap dan perilaku yang mengecilkan diri. Kita sering merasa marah karena orang lain berlaku persis seperti kita.

Perhatikanlah, bahwa orang tua yang sering marah kepada anak-anaknya yang bertengkar adalah orang tua yang juga sering bertengkar dengan pasangannya.

Bila kita cukup adil kepada diri kita sendiri, dan mampu untuk sekejap menikmati kedamaian kita akan melihat dengan jelas bahwa kita sering menuntut orang lain untuk berlaku seperti yang tidak kita lakukan. Dan dengannya, bukankah kemarahan Anda juga penunjuk jalan bagi Anda untuk menemukan perilaku-perilaku baik yang sudah Anda tuntutdariorang lain,tetapi yang masih belum Anda lakukan? Lalu, mengapakah Anda berlama-lama dalam kemarahan yang sebetulnya adalah tanda yang nyata bahwa Anda belum memperbaiki diri?

Katakanlah, tidak ada orang yang cukup penting yang bisa membuat saya marah dan berlaku rendah. Bila Anda seorang pemimpin, dan Anda telah menerima tugas untuk meninggikan orang lain, maka tidak ada badai, gempa, atau air bah yang bisa membuat Anda mengurangi nilai Anda bagi kepantasan untuk mengemban tugas itu.

Ingatlah, bahwa orang-orang yang berupaya mengecilkan Anda itu adalah sebetulnya orang-orang kecil. Karena, orang-orang besar akan sangat berhati-hati dengan perasaan hormat Anda kepada diri Anda sendiri. Bila mereka marah pun kepada Anda, mereka akan berlaku dengan cara-cara yang mengundang Anda untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Sedangkan orang kecil? Orang-orang kecil membuat orang lain merasa kecil agar mereka bisa merasa besar. Anda mengetahui kebesaran yang dijanjikan untuk Anda. Maka besarkan-lah orang lain.

(Sumber: Mario Teguh, MSTS 13.07.2006) Gambar diambil dari sini