Ini kisah dari seorang kawan. Awalnya dia kukenal sebagai orang yang ceria dan terbuka, namun selama sebulan ini tiba-tiba sikapnya berubah. Dia menjadi pendiam, bahkan cenderung pemurung dan tertutup. Aku dan teman-teman yang lain heran dengan perubahannya itu. Dia seperti orang yang tak memiliki semangat sama sekali dalam menjalani hidup.
Hingga suatu kali, entah apa awalnya aku lupa, dia bicara banyak kepadaku. Diceritakan kepadaku bahwa suatu ketika dia telah membuat pilihan hidup yang salah. Akibat dari kesalahan itu, dia merasa hidupnya tak lagi bahagia. Baginya, kesalahan yang pernah diambilnya telah menutup jalan menuju kebahagiaan.
Hingga suatu kali, entah apa awalnya aku lupa, dia bicara banyak kepadaku. Diceritakan kepadaku bahwa suatu ketika dia telah membuat pilihan hidup yang salah. Akibat dari kesalahan itu, dia merasa hidupnya tak lagi bahagia. Baginya, kesalahan yang pernah diambilnya telah menutup jalan menuju kebahagiaan.
Aku tertegun mendengar ceritanya. Sungguh aku tak habis pikir mengapa dia telah melewatkan banyak waktu dan kesempatan untuk meraih bahagia hanya karena sebuah kesalahan yang telah diperbuatnya. Meskipun kesalahan itu telah terjadi, toh kehidupannya tetap harus berjalan dan dia berhak untuk merasakan kebahagiaan.
Hidup itu pilihan, kawan. Terserah pada kita apakah kita ingin bahagia atau tidak. Terserah kita apakah kita ingin memanfaatkan hidup dengan sebaik-baiknya atau tidak. Masih banyak peluang untuk memberikan yang terbaik untuk diri kita dan juga orang lain. Kita sebagai manusia memang tak akan luput dari kesalahan, namun jika kita berbuat kesalahan itu bukan berarti akhir dari segalanya.
Aku kembali teringat dengan sebuah email dari seorang kawan lama. Email ini sudah lama sekali aku terima, sengaja aku cari untuk aku bagi kepada kawanku yang berduka itu. Alhamdulillah..., kini dia kembali bisa tersenyum. Dia telah mencoba berdamai dengan dirinya sendiri dan menerima akibat dari kesalahan yang telah dipilihnya. Dia kembali bersemangat untuk meraih kembali kebahagiaannya.
Ohya, ini adalah email yang aku dapatkan dari seorang kawan lama dan telah aku bagikan kepada kawan yang bermasalah itu. Meskipun ini email sederhana, semoga saja tetap dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga...
Hidup itu pilihan, kawan. Terserah pada kita apakah kita ingin bahagia atau tidak. Terserah kita apakah kita ingin memanfaatkan hidup dengan sebaik-baiknya atau tidak. Masih banyak peluang untuk memberikan yang terbaik untuk diri kita dan juga orang lain. Kita sebagai manusia memang tak akan luput dari kesalahan, namun jika kita berbuat kesalahan itu bukan berarti akhir dari segalanya.
Aku kembali teringat dengan sebuah email dari seorang kawan lama. Email ini sudah lama sekali aku terima, sengaja aku cari untuk aku bagi kepada kawanku yang berduka itu. Alhamdulillah..., kini dia kembali bisa tersenyum. Dia telah mencoba berdamai dengan dirinya sendiri dan menerima akibat dari kesalahan yang telah dipilihnya. Dia kembali bersemangat untuk meraih kembali kebahagiaannya.
Ohya, ini adalah email yang aku dapatkan dari seorang kawan lama dan telah aku bagikan kepada kawan yang bermasalah itu. Meskipun ini email sederhana, semoga saja tetap dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga...
Seorang mahasiswa kuliahnya tidak serius. Kadang masuk kuliah kadang tidak, tugas terbengkalai, SKS yang harus dikejar masih banyak, dan jarang sekali belajar. Begitu ditanya ternyata dia merasa terjebak masuk ke jurusan yang dipilihnya karena dia hanya ikut-ikutan saja. Teman-temannya masuk jurusan tersebut, dia pun ikut.
“Mengapa kamu tidak pindah saja?” tanya temannya, Budi.
“Ah, biarlah, nasi sudah menjadi bubur” jawabnya, tidak peduli.
“Apakah kamu akan tetap seperti ini?”
“Mau gimana lagi, saya bilang nasi sudah jadi bubur, tidak bisa diperbaiki lagi.” jawabnya berargumen.
“Kalau kamu pindah kejurusan yang kamu sukai, kan kamu akan lebih enjoy.” kata temannya.
“Saya ini sudah tua, masa harus kuliah dari awal lagi. Saya terlambat menyadari kalau saya salah masuk jurusan.” jelasnya sambil merebahkan diri di kasur dan mengambil remote control TV-nya.
“Memang tidak ada yang bisa kamu lakukan lagi?” selidik temannya.
“Tidak, saya sudah katakan berulang-ulang nasi sudah jadi bubur.”
Temannya pun diam sejenak, dia bingung melihat temannya yang sudah tidak semangat lagi. Kemudian dia teringat pada temannya yang memiliki nasib yang sama, salah memilih jurusan. Dia pun pulang ke rumahnya kemudian menelpon temannya tersebut.
“Jaka, perasaan kamu pernah cerita sama saya, kalau kamu salah memilih jurusan?” tanya Budi kepada Jaka.
“Memang saya salah memilih jurusan, memangnya kenapa?” jawab Jaka.
“Yang saya heran, kenapa kamu tetap semangat kuliah, sedangkan teman saya malah malas dan tidak serius kuliahnya.”
“Yah nggak tahu yah, saya juga dulu sempat seperti itu. Tapi sekarang sudah tidak lagi.” jelas Jaka.
“Apa sich resepnya?”
“Pertama saya merelakan diri masuk jurusan ini. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah. Jadi saya terima saja.”
“Terus?” kata Budi bersemangat
“Yang kedua, saya mencari cara menggabungkan ilmu yang saya miliki dijurusan ini, dengan hobi saya. Ternyata saya menjadi enjoy saja. Memang, saya terlanjur memilih jurusan ini, kata orang, nasi sudah jadi bubur. Tetapi kalau saya, nasi sudah menjadi bubur ayam spesial yang enak dan lebih mahal harganya ketimbang nasi.”
“Oh gitu….”
“Yah, kalau kita menyesali tidak ada manfaatnya. Kalau kita berusaha mengubah bubur jadi nasi, itu tidak mungkin. Satu-satunya cara ialah membuat bubur tersebut menjadi lebih nikmat, saya tambahkan ayam, ampela, telor, dan bumbu. Rasanya enak dan lebih mahal” jelas Jaka sambil tersenyum lebar.